ARTIKEL
Kabupaten Wajo adalah sentra penghasil kain tenun sutra. Daerah ini bahkan menjadi pemasok utama kain sutra polos untuk kebutuhan industri batik di Pekalongan dan Yogyakarta. Saat ini, pertenunan sutra masih menjadi andalan utama masyarakat di Kabupaten Wajo, selain produk pertanian. Untuk memenuhi permintaan dari Jawa, pengusaha sutra Wajo terus berupaya mengembangkan penenunan sutra yang melibatkan masyarakat setempat.
Pusat penenunan sutra polos berada di desa Pakkanna. Di desa tersebut didominasi dengan aktivitas penenunan, khususnya bagi perempuan. Terlihat di hampir semua kolong rumah milik penduduk, terdapat peralatan penenunan ATBM (alat tenun bukan mesin). Biasanya kaum perempuan di desa tersebut melakukan penenunan di sela-sela kesibukan mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Selain dikerjakan sebagai home production, beberapa pengusaha juga menyediakan ruang dan peralatan secara khusus untuk penenunan dengan ATBM, dan merekrut tenaga penenun.
Sebagai daerah produsen kain sutra polos, pengusaha kain tenun sutra membutuhkan cukup banyak benang sutra. Menurut Andi Makkasau dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Wajo, sebagian besar benang sutra yang digunakan dalam industri penenunan sutra di Wajo masih diimpor dari Cina dan Hongkong. Benang sutra impor tersebut, selain harga lebih murah, juga benang lebih kuat dan tidak gampang putus. Selain itu, stok impor selalu tersedia, sehingga pengusaha tidak perlu khawatir akan kekurangan benang.
Padahal di wilayah Sulsel sendiri sebenarnya telah memproduksi benang sutra, misalnya di Soppeng dan Enrekang. Soppeng dikenal sebagai daerah penghasil murbei, ulat sutra dan kepompong, sedangkan di Enrekang terdapat pusat pemintalan benang sutra. Hanya saja, menurut Andi Makkasau, stok benang lokal sangat terbatas. Selain itu benang juga tidak terlalu panjang, sehingga pengusaha tenun sutra Wajo lebih suka memakai benang impor.
Benang sutra lokal pada umumnya hanya digunakan untuk membuat kain sarung, yang dibuat secara tradisional. Dengan kain sarung ini, masyarakat Wajo masih mempertahankan produksi sutra tradisional, yang ditenun menggunakan alat gedokan. Pembuatan sarung ini menggunakan alat gedokan yang dibuat sendiri oleh masyarakat setempat. Penenunan pun hanya dilakukan oleh kaum perempuan, sebagai pekerjaan sampingan setelah mengurus rumah tangga.
Untuk setiap sarung dengan panjang empat meter dan lebar satu meter, seorang penenun dapat menyelesaikannya sekitar satu hingga empat minggu. Bahan baku benang yang digunakan untuk pembuatan sarung merupakan benang lokal, yang diperoleh baik dari Soppeng dan Enrekang, maupun benang dari kokon yang produksi di Wajo sendiri.
Pasar utama kain sarung tradisional adalah Makassar, selain pasar di lokal, untuk memenuhi permintaan konsumen lokal. Bahan baku benang biasanya didapatkan dari pasar, atau melalui pedagang pengumpul. Ada beberapa cara bagi penenun untuk mendapatkan kebutuhan benang. Pertama yaitu dengan embeli langsung di pasar atau dari pedagang pengumpul. Dengan cara ini, penenun dapat dengan bebas menjual produk sarungnya kepada pedagang lain, maupun di pasar lokal, ataupun kepada pedagang pengumpul itu sendiri. Penenun yang membeli benang biasanya dapat menjual kain sarungnya lebih mahal. Untuk harga kain sarung saat ini, penenun dapat menjual dengan harga Rp 180 ribu per lembar.
Cara kedua, dan yang paling sering dilakukan oleh penenun setempat adalah dengan meminjam benang dari pedagang pengumpul. Pembayaran benang akan dipotong dari nilai jual sarung kepada pedagang tersebut, sehingga harga kain sarung biasanya ditentukan oleh pedagang. Dengan peminjaman seperti ini, penenun hanya dapat menjual kain sarungnya dengan harga Rp 150 ribu per lembar, dipotong harga benang. Penenun pun terikat untuk menjual produksinya pada pedagang tersebut. (**)
Kabupaten Wajo adalah sentra penghasil kain tenun sutra. Daerah ini bahkan menjadi pemasok utama kain sutra polos untuk kebutuhan industri batik di Pekalongan dan Yogyakarta. Saat ini, pertenunan sutra masih menjadi andalan utama masyarakat di Kabupaten Wajo, selain produk pertanian. Untuk memenuhi permintaan dari Jawa, pengusaha sutra Wajo terus berupaya mengembangkan penenunan sutra yang melibatkan masyarakat setempat.
Pusat penenunan sutra polos berada di desa Pakkanna. Di desa tersebut didominasi dengan aktivitas penenunan, khususnya bagi perempuan. Terlihat di hampir semua kolong rumah milik penduduk, terdapat peralatan penenunan ATBM (alat tenun bukan mesin). Biasanya kaum perempuan di desa tersebut melakukan penenunan di sela-sela kesibukan mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Selain dikerjakan sebagai home production, beberapa pengusaha juga menyediakan ruang dan peralatan secara khusus untuk penenunan dengan ATBM, dan merekrut tenaga penenun.
Sebagai daerah produsen kain sutra polos, pengusaha kain tenun sutra membutuhkan cukup banyak benang sutra. Menurut Andi Makkasau dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Wajo, sebagian besar benang sutra yang digunakan dalam industri penenunan sutra di Wajo masih diimpor dari Cina dan Hongkong. Benang sutra impor tersebut, selain harga lebih murah, juga benang lebih kuat dan tidak gampang putus. Selain itu, stok impor selalu tersedia, sehingga pengusaha tidak perlu khawatir akan kekurangan benang.
Padahal di wilayah Sulsel sendiri sebenarnya telah memproduksi benang sutra, misalnya di Soppeng dan Enrekang. Soppeng dikenal sebagai daerah penghasil murbei, ulat sutra dan kepompong, sedangkan di Enrekang terdapat pusat pemintalan benang sutra. Hanya saja, menurut Andi Makkasau, stok benang lokal sangat terbatas. Selain itu benang juga tidak terlalu panjang, sehingga pengusaha tenun sutra Wajo lebih suka memakai benang impor.
Benang sutra lokal pada umumnya hanya digunakan untuk membuat kain sarung, yang dibuat secara tradisional. Dengan kain sarung ini, masyarakat Wajo masih mempertahankan produksi sutra tradisional, yang ditenun menggunakan alat gedokan. Pembuatan sarung ini menggunakan alat gedokan yang dibuat sendiri oleh masyarakat setempat. Penenunan pun hanya dilakukan oleh kaum perempuan, sebagai pekerjaan sampingan setelah mengurus rumah tangga.
Untuk setiap sarung dengan panjang empat meter dan lebar satu meter, seorang penenun dapat menyelesaikannya sekitar satu hingga empat minggu. Bahan baku benang yang digunakan untuk pembuatan sarung merupakan benang lokal, yang diperoleh baik dari Soppeng dan Enrekang, maupun benang dari kokon yang produksi di Wajo sendiri.
Pasar utama kain sarung tradisional adalah Makassar, selain pasar di lokal, untuk memenuhi permintaan konsumen lokal. Bahan baku benang biasanya didapatkan dari pasar, atau melalui pedagang pengumpul. Ada beberapa cara bagi penenun untuk mendapatkan kebutuhan benang. Pertama yaitu dengan embeli langsung di pasar atau dari pedagang pengumpul. Dengan cara ini, penenun dapat dengan bebas menjual produk sarungnya kepada pedagang lain, maupun di pasar lokal, ataupun kepada pedagang pengumpul itu sendiri. Penenun yang membeli benang biasanya dapat menjual kain sarungnya lebih mahal. Untuk harga kain sarung saat ini, penenun dapat menjual dengan harga Rp 180 ribu per lembar.
Cara kedua, dan yang paling sering dilakukan oleh penenun setempat adalah dengan meminjam benang dari pedagang pengumpul. Pembayaran benang akan dipotong dari nilai jual sarung kepada pedagang tersebut, sehingga harga kain sarung biasanya ditentukan oleh pedagang. Dengan peminjaman seperti ini, penenun hanya dapat menjual kain sarungnya dengan harga Rp 150 ribu per lembar, dipotong harga benang. Penenun pun terikat untuk menjual produksinya pada pedagang tersebut. (**)