BUKU
Judul: Memoar Aisyah r.a, Istri Kinasih Baginda Rasul Saw.
Penulis: Sulaiman an-Nadwi
Penerbit: -
Bismillahirrahmanirrahim
AISYAH r.a. bergelar ash-Shiddiqah. Nama kecilnya adalah Humairah, julukan (kunniyat) dari Ummu Abdullah, juga dinamai Ummul Mu'minin ("Ibu Kaum Mukminin"). Ia tidak mempunyai anak dan sebutan keluarganya ber-dasarkan nama saudara perempuannya, Asma' binti Abu Bakar. Ia memakai nama keluarga yang merupakan penghargaan orang-orang Arab sebagai tanda kaum bangsawan. Ayahnya adalah Abdullah yang lebih dikenal bernama Abu Bakar dan mendapat julukan ash-Shiddiq. Sementara Aisyah merupakan cucu Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Amar bin Ka'ab bin Sa'ad bin Tayim bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Fihr bin Malik. Ibunya adalah Ummu Rauman Zainab binti Amir bin Uwaimir bin Abdusy-Syams bin 'Itab bin Uzainah bin Sabi'i bin Dahman bin al-Harits bin Ghanam bin Kinanah. Dengan demikian dari ayahnya, ia merupakan keturunan suku Quraisy Tayimiah dan dari pihak ibunya keturunan suku Quraisy Kinaniyah. Dari sisi ayah, silsilahnya bertemu dengan Rasulullah saw pada generasi ketujuh atau kedelapan. Dan dari ibunya bertemu pada keturunan yang kesebelas atau dua belas.
Suami pertama ibunya adalah Abdullah Fiza'i. Dan setelah suami pertama wafat, maka ia menikah lagi dengan Abu Bakar dan mempunyai dua anak, yaitu Abdurrahman dan Aisyah.
Ada perbedaan pendapat di antara para ahli sejarah tentang tahun kelahiran Aisyah; kemungkinan besar ia dilahirkan pada tahun kelima (atau keenam) dari kenabian. Rumah keluarga Abu Bakar penuh dengan rahmat Allah, dan rumah tangganya merupakan keluarga yang mula-mula mendapat-kan cahaya Islam, sementara Aisyah adalah salah satu di antara orang yang beruntung, karena ia tidak sempat berkenalan dengan paganisme (penyembah berhala). Aisyah berkata bahwa sejak semula dirinya mengetahui, bahwa kedua orangtuanya adalah Muslim.
Masa Kecil
Kalangan terpandang menunjukkan kebesaran mereka lewat perilaku dan adat istiadatnya, dalam tahun-tahun pertama pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Mereka menunjukkan bakat dan kecerdasan sebagai pertanda ketinggian derajat dalam hidup mereka kelak. Begitu juga Aisyah, tingkah lakunya amat mulia. Sebagai seorang anak, ia gemar mainan dan bermain sebagaimana anak-anak yang lain. la biasa berkumpul dengan teman-teman sebayanya dan bermain dengan mereka.
Begitu juga pada masa kanak-kanak, ia sangat dekat dengan Nabi, dan jika Nabi saw berkesempatan berpapasan dengan kelompok main Aisyah, mereka akan menyembunyikan mainannya dan dia sendiri bersembunyi. Tetapi Nabi meminta mereka meneruskan permainan mereka. Aisyah sangat gemar pada mainan boneka dan bermain ayunan. Salah satu dari mainannya adalah boneka kuda yang memiliki dua sayap. Nabi saw bertanya kepadanya, "Apa ini?" Aisyah menjawab bahwa itu adalah kuda. Nabi berkata bahwa kuda tak mempunyai sayap. Tiba-tiba ia menjawab, "Kuda Nabi Sulaiman punya sayap," maka Nabi saw pun tersenyum. Jawaban ini menunjukkan kepandaian, pengetahuan agama dan ketajaman intelektualnya.
Umumnya, anak-anak yang berumur di bawah tujuh atau delapan tahun adalah kurang hati-hati dan masa bodoh. Tetapi Aisyah memahami setiap arti sesuatu dari masa kanak-kanaknya, dapat menjelaskan arti dan tujuan mereka dan jika ada ayat al-Qur'an yang dibacakan kepadanya, ia terbiasa menghafalnya. Ia menyatakan bahwa saat sedang bermain, ketika itu turun ayat, "Sebenarnya hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit." (Q.S. al-Qamar: 46).
Pada waktu hijrah ke Madinah, Aisyah berumur delapan tahun, tetapi tak ada yang dapat mengingat secara detail dari peristiwa itu, kecuali dirinya.
Pernikahan
Istri Nabi saw yang pertama adalah Khadijah, putri dari Khuwallid yang hidup dengan beliau selama 25 tahun sampai wafatnya pada umur 65 tahun. Ia mening¬gal di bulan Ramadhan tahun kesepuluh dari masa kenabian, tiga tahun sebelum hijrah. Kala itu Nabi saw. berumur 50 tahun. Khadijah adalah orang kedua yang memeluk agama Islam dan telah banyak memberikan dorongan yang sangat berharga dengan penuh kesabar¬an kepada suaminya dalam usaha menegakkan keadilan dan mengatasl berbagai kesulitan. Ia amat simpatik dan menemani Nabi saw dalam setiap kesengsaraan serta selalu memberikan bantuan kepada beliau. Setelah pendamping hidupnya yang tercinta dan penuh penger¬tian itu wafat, Nabi sangat sedih dan murung, sehingga kehidupan sehari-hari merupakan penderitaan tersen¬diri bagi beliau. Banyak pengikut Nabi khawatir terhadap beliau. Khaulah binti Hakim, istri dari Utsman bin Mazh'un, sahabat Nabi saw., mendekati beliau dan menasihati agar Nabi menikah kembali. Nabi bertanya dengan perempuan mana beliau hendak menikah? Khaulah berkata bahwa ada seorang janda dan seorang gadis, masing-masing Saudah (seorang janda) putri Zama'ah dan Aisyah (yang masih gadis) putri Abu Bakar r.a. Nabi saw menyerahkan wewenang kepada Khaulah untuk menyampaikan permohonannya.
Pertama Khaulah menghubungi Abu Bakar untuk mengizinkan pernikahan ini, walaupun Aisyah sudah ditunangkan dengan Jabir bin Muthim. Sebelum memberikan izin kepada Nabi saw., Abu Bakar lebih dahulu menghubungi Muth'im bin Adi [ayah Jabir] yang belum masuk Islam. Istri Abu Bakar berkata bahwa jika Aisyah menjadi anggota keluarga mereka (Muth'im), anak-anaknya akan mengabaikan agama yang belum diterimanya. Dan akhirnya pertunangan dibatalkan.
Sebelum pernikahan beliau dengan Aisyah, Nabi saw telah bermimpi dimana malaikat memberikan kepada beliau sesuatu yang terbungkus oleh kain sutra. Nabi saw mengetahui dari malaikat, apa arti ini semua dan malaikat berkata bahwa ini adalah istri beliau. Ketika membuka tutup dari sutra itu, Nabi melihat Aisyah di dalamnya.
Ketika pernikahan dilaksanakan, Aisyah masih berumur 9 tahun, tetapi ia telah cukup terbentuk baik fisik maupun rnentalnya dalam cuaca Arab. Aisyah sendiri menyatakan bahwa maskawinnya seharga 500 dirham.
Setelah perayaan pernikahan, Aisyah tinggal dengan orangtuanya selama tiga tahun, yang mana selama dua tahun tiga bulan berada di Mekkah dan sembilan bulan, di Madinah setelah hijrah. Aisyah ingin menemani ayahnya ketika orangtuanya itu melaksanakan hijrah ke Habasyah (Abesinia), tetapi dihalangi oleh Ibnu ad-Dughunna agar mereka tidak melakukannya.
Penyiksaan terhadap orang-orang Islam oleh kaum penyembah berhala Mekkah, menyebabkan hijrahnya mereka ke Madinah. Ketika Nabi saw memutuskan hijrah sendiri, menurut Aisyah, beliau biasa mengunjungi Abu Bakar setiap hari, baik di pagi atau malam hari. Suatu hari Nabi mengunjungi Abu Bakar pada sore hari dan beliau menutupi wajahnya dengan kain. Nabi mendekati Abu Bakar dan memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Anak perempuan Abu Bakar, Aisyah dan Asma' mengumpulkan kebutuhan untuk perjalanan. Meninggalkan keluarga di Mekkah, mereka hijrah ke Madinah dan menghindari musuh yang senantiasa mengganggu mereka. Mereka mencapai Madinah tanggal 12 Rabl'ul Awwal, 14 tahun setelah masa kenabian.
Setelah beberapa saat berada di Madinah, Nabi mengirim Zaid bin Haritsah dan pembantunya, Abu Rafa'i untuk membawa keluarganya dari Mekkah. Begitu juga Abu Bakar mengirim seseorang dengan mereka. Abdullah bin Abu Bakar mengawal ibunya dan dua saudara perempuannya dalam perjalanan ke Madinah. Tiba-tiba unta yang dikendarai Aisyah mulai berlari kencang pertanda bahaya dan kadang terpuruk beberapa saat, ibu Aisyah pun mulai menangis. Kemudian unta pun berjalan perlahan-lahan setelah berlari beberapa mil. Ketika rombongan ini sampai di Madinah, Nabi saw telah mendirikan masjid dan beberapa rumah. Dua putri Nabi saw., Fatimah dan Ummu Kultsum, serta istri beliau Saudah binti Zama'ah, menempati salah satu dari rumah itu. Aisyah tinggal dengan ibunya di rumah yang ditempati oleh Bani Harits bin Khazraj.
Cuaca di Madinah tidak cocok bagi kaum Muhajirin dan banyak di antara mereka yang jatuh sakit. Abu Bakar sakit dan dirawat oleh putrinya. Ketika ia mengeluh akan kesehatan ayahnya, sang ayah membacakan sebuah syair berkenaan hal itu:
"Setiap anggota keluarga adalah ujian dan bahwasanya maut itu lebih dekat kepadanya daripada tali sepatunya." Aisyah memberitahukan kondisi ayahnya kepada Nabi saw. agar beliau mendoakan kesembuhannya. Ayahnya lantas sembuh, namun kemudian giliran putrinya (Aisyah) jatuh sakit. Banyak rambutnya yang rontok. Ketika kesehatannya pulih secara total, Abu Bakar mendekati Nabi, dan meyakinkan beliau bahwa Aisyah dapat dipanggil ke rumah beliau. Rasul saw menyatakan bahwa beliau tak punya uang untuk membayar mahar. Abu Bakar menawari memberi pinjaman yang diterima Nabi dan kemudian diberikannya kepada Aisyah.
Para perempuan Anshar datang ke rumah Abu Bakar. Ummu Rauman memandikan dan merias pengantin perempuan, lantas didekatkan kepada kaum perempuan Anshar yang kemudian berkata, "Kehadiranmu telah mendatangkan rahmat dan keberuntungan."
Tak lama kemudian Nabi saw. datang. Tak ada sesuatu pun untuk diberikan kepada Nabi kecuali semangkok susu. Nabi meminumnya seteguk, kemudian memberikannya kepada Aisyah yang malu-malu untuk meminumnya. Para perempuan Anshar itu menyarankan Aisyah untuk tidak menolak pemberian Nabi. Kemudian ia mengambilnya. Nabi saw memintanya untuk memberikan itu juga kepada teman-temannya, tetapi mereka berkata bahwa mereka tidak haus. Nabi saw. bersabda, "Jangan berkata bohong, karena setiap kebohongan dicatat!"
Pemberangkatan pengantin perempuan dari rumah orangtuanya dilakukan pada tanggal 1 Syawal setelah hijrah. Perhelatan pernikahan itu sangat sederhana.
Suatu pernikahan yang tidak sebagaimana biasanya. Pertama, orang Arab tidak memberikan bantuan bagi anak-anak perempuannya kepada (siapa mereka memanggil) saudara-saudara laki-lakinya (walaupun mereka bukan benar-benar saudara). Abu Bakar mengajukan keberatannya, tetapi Nabi saw bersabda bahwa saudara seiman bukanlah benar-benar saudara yang dapat dikategorikan sebagai larangan. Kedua, orang-orang Arab menganggap bulan Syawal adalah bulan yang tidak baik untuk pemberangkatan pengantin perempuan. Pernikahan dan pemberangkatan Aisyah kedua-duanya terjadi pada bulan tersebut. Orang Arab juga mempunyai kebiasaan menyalakan lampu obor sebelum perayaan dan seorang suami biasanya pertama berjumpa dengan pengantin perempuannya di pelaminan. Semua kebiasaan-kebiasaan tersebut ditinggalkan pada pernikahan ini.
Pendidikan dan Asuhan
Tidak banyak laki-laki di antara orang Arab yang pandai membaca dan menulis, juga perempuannya. Pada waktu Islam diturunkan, tidak lebih dari tujuh belas orang yang bisa membaca dan menulis di kalangan seluruh kaum Quraisy. Di antara mereka hanya ada satu orang perempuan, yaitu Syafa' binti Abdullah Adwiyah. Dari sekian banyak kelebihan yang dibawa oleh Islam, keadaan inilah yang diupayakan dalam era pendidikan dan pengajaran dengan penyebaran Islam. Sebagai tebusan bagi para tawanan Perang Badar: siapa yang pandai masing-masing harus mengajar sepuluh anak Muslim. Ada 100 orang yang diajar membaca dan menulis oleh Syafa'. Di antara istri-istri Nabi saw., Hafsah dan Ummu Salamah dapat membaca dan menulis; Hafsah telah belajar dari Syafa' binti Abdullah atas petunjuk Nabi. Banyak kaum laki-laki datang secara pribadi kepada Nabi, dan para sahabat mulia terkemudian mendapatkan inspirasi spiritual dan muncul rasa keagungan yang sebelumnya tidak mereka kenal. Suatu kesempatan baik yang belum didapatkan perempuan. Istri Nabi saw sendiri yang dekat dengan beliau memperoleh pengajaran langsung dari beliau dan secara pelan-pelan menyebarluaskan (Islam), dan di antara mereka banyak yang mengabdikan diri untuk berdakwah. Semua istri Nabi adalah para janda kecuali Aisyah, dan hanya dialah yang beruntung mendapat asuhan yang membentuk pribadinya lewat kasih sayang serta bimbingan Nabi Muhammad saw. Dengan kehendak Allah swt., sejak awal masa pendidikan dan asuhannya, ia dijauhkan dari lingkungan yang tidak baik dan dibawa ke tempat tinggal Nabi untuk mendapatkan teladan dan kasih sayang agar menjadi penerang dan pembimbing bagi kaum Muslimah.
Di antara orang-orang Quraisy, Abu Bakar adalah ahli silsilah keturunan dan penyair. Aisyah menguasai seni semacam ini sebagai turunan dari keluarganya, tetapi pendidikannya yang sebenarnya diperoleh setelah menikah. la mulai belajar membaca dan menulis serta dalam waktu singkat sudah dapat membaca al-Qur'an. Membaca dan menulis adalah, betapapun, semata-mata wujud lahiriah dari pendidikan. Hakikat dari belajar dan pendidikan yang sesungguhnya adalah jauh lebih tinggi. Hal itu meliputi perkembangan nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran budi, pemahaman tentang dasar-dasar agama, serta ketetapan dan perintah Nabi saw., juga pengetahuan dari ayat-ayat Allah. Aisyah dikaitkan dengan ini semua yang diketahui dari tingkat kecerdasannya. Selain dari pengetahuan agama, ia pun mengetahui tentang sejarah dan kesusastraan serta berbagai pengobatan. Ia belajar sejarah dan kesusastraan dari ayahnya, dan kedokteran dari beberapa ahli kedokteran Arab yang mengunjungi Nabi saw. Ia telah belajar berbagai macam penyakit dan pengobatan dari mereka.
Nabi biasa memberi pengertian keagamaan sehari-hari di rumahnya dan Aisyah sangat teliti juga tekun mendengarkannya. Jika mempunyai masalah tentang sesuatu, ia akan bertanya kepada Nabi saw setelah ceramah. Aisyah biasa mengajar para perempuan yang berkumpul di rumahnya secara mingguan. Siang dan malam ia biasa mendengarkan pokok pembicaraan, dalil-dalil dan hukum agama dari Nabi saw. Aisyah sendiri biasa menyikapi suatu masalah. Nabi memberi pemecahan dan tidak akan berhenti sebelum masalahnya jelas dan terpecahkan baginya. Suatu ketika Nabi saw. bersabda, "Siapa pun akan dihisab di akhirat, dan amal baiknya akan ditaksir."
Aisyah berkata bahwa Allah swt. berfirman, "Adapun orang yang diberikan kitabnya dari setelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah." (Q.s. al-Insyiqaq: 7-8)
Nabi berkata bahwa hal ini berkaitan dengan penjelasan tentang perhitungan, tetapi seseorang diharuskan melewati suatu ujian dan pertanyaan yang sulit. Suatu hari Aisyah bertanya kepada Nabi saw tentang firman Allah, "(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah Yang Mahakuasa lagi Mahaperkasa." (Q.s. Ibrahim: 48)
Tetapi pada ayat lain Allah swt. berfirman, "Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya." (Q.s. az-Zumar: 67)
Aisyah menyela, "Akan dikemanakan manusia jika tidak ada bumi dan langit (surga)?"
Nabi saw. menjawab, "Antara dunia dan akhirat." Selama mengkaji ayat Allah, Nabi bersabda, "Pada hari Kebangkitan orang-orang akan dibangkitkan dalam keadaan telanjang."
Aisyah bertanya, "Wahai utusan Allah! Jika laki-laki dan perempuan dibangkitkan bersama-sama, akankah pandangan mereka saling memperhatikan secara bersama pada saat itu?"
Nabi saw. menjawab, "Ini merupakan saat yang sangat dahsyat, tak seorang pun akan berpikir yang lain."
Aisyah kemudian meminta keterangan, "Akankah seseorang ingat pada yang lain di hari itu?"
Nabi menjawab, "Tidak, pada tiga kesempatan ketika orang akan ditimbang amal perbuatannya, saat buku catatan amalnya akan diberikan kepadanya, dan tatkala neraka akan meraung-raung meminta tiga macam manusia."
Ia ingin bertanya apakah perbuatan yang baik dari orang kafir dan penyembah banyak tuhan akan mendapat balasan. Abdullah bin Jad'an adalah orang kafir yang baik budi di Mekkah yang memanggil orang-orang Quraisy untuk memutuskan pelanggaran dan pertumpahan darah, dan Nabi saw ikut serta dalam pertemuan itu. Aisyah meminta penjelasan, "Wahai Nabi Allah! Selama hidupnya Abdullah bin jad'an biasa memperlakukan orang secara baik dan memberi makan orang miskin. Akankah ada balasan dari kedermawanan dan kebaikannya?" Beliau menjawab, "Tidak Aisyah, ia tidak pernah bertobat kepada Allah [atas kekafirannya] untuk menghapus dosa-dosanya hingga datang hari keputusan."
Jihad adalah kewajiban yang harus dipenuhi setiap Muslim, dan Aisyah berpandangan bahwa tak ada perbedaan antara Muslim laki-laki maupun perempuan; dimana jihad juga diwajibkan bagi perempuan. Aisyah meminta keterangan masalah ini kepada Nabi saw yang kemudian dijawab oleh beliau, "Jihad bagi perempuan adalah pergi haji."
Untuk suatu pernikahan, persetujuan dari perempuan sangat perlu, tetapi para gadis tak membicarakan tentang hal ini. Aisyah bertanya kepada Nabi, "Akankah persetujuan dari calon pengantin perempuan juga diminta sebelum pernikahan?"
Ketika dijawab oleh Nabi saw. bahwa diperlukan persetujuan mereka, Aisyah lantas berkata, "Tetapi pihak perempuan akan tetap diam jika dimintai pendapat."
Nabi bersabda, "Diamnya itu menunjukkan persetujuannya."
Dalam Islam, tetangga lebih utama daripada yang lain, tetapi bila seseorang mempunyai dua orang tetangga yang sangat dekat, kemudian siapa yang lebih utama diberi? Aisyah menjawab pertanyaan ini sebelum Nabi saw memberi jawaban, "Yaitu tetangga yang pintu rumahnya lebih dekat."
Suatu hari Aisyah kedatangan tamu yang pernah mengasuhnya sewaktu kecil (yang berperan dalam mendidiknya), yaitu pamannya. Tetapi Aisyah tak mau menemuinya dan berkata, "Jika aku pernah menyusu kepada seorang perempuan, apa yang harus aku kerjakan dengan saudara laki-laki dari suaminya?"
Ketika Nabi saw datang, ia meminta keterangan tentang hal ini, kemudian beliau menjawab, "ia adalah pamanmu, perkenankan ia masuk dan temuilah!"
Ada ayat yang berbunyi, "Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (Q.s. al-Mu'minun: 60)
Aisyah ragu-ragu jika dalam hal ini termasuk juga pencuri, pemabuk dan orang-orang jahat yang takut kepada Allah swt. Nabi menyatakan bahwa hal ini hanya untuk orang-orang yang memelihara shalatnya dan suka melaksanakan puasa serta merasa takut kepada Allah."
Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa gembira berjumpa dengan Allah, maka Allah juga gembira dengannya, dan barangsiapa tak suka berjumpa dengan Allah, maka Allah juga tidak suka berjumpa dengannya."
Aisyah berkata, "Tak seorang pun dari kita suka berjumpa dengan kematian."
Nabi menyatakan bahwa ini bukan arti dari ayat tadi. Namun, hal ini berarti bahwa ketika seorang Mukmin mendengar tentang Rahman dan Rahim-Nya juga tentang surga, hatinya ingin cepat-cepat bersua Allah, dan Allah pun niscaya segera berjumpa dengannya. Dan tatkala orang kafir mendengar tentang hukuman dan kemurkaan Allah, mereka benci bertemu dengan-Nya dan Allah swt. juga benci terhadapnya.
Banyak pertanyaan dan diskusi Aisyah seperti ini yang ditulis dalam buku-buku hadis, yang mana dalam kenyataan, merupakan bagian dari pendidikan dan pengajarannya.
Suatu hari seorang laki-laki ingin bertatap muka dengan Nabi saw yang memberikan izin kepadanya untuk memasuki ruangan, walaupun beliau mengetahui bahwa orang itu adalah penjahat dan pendosa. Ketika orang itu masuk, Nabi berbicara kepadanya dengan ramah-tamah dan penuh perhatian. Ketika tamu itu telah pergi, Aisyah meminta keterangan, mengapa Nabi menyambutnya sedemikian rupa, padahal beliau mengetahui bahwa ia adalah pendosa. Nabi saw. menjawab, "Sejelek-jelek manusia adalah orang yang dihindari (diacuhkan orang) karena perbuatannya yang tidak patut."
Dalam suatu kesempatan Nabi saw. bersabda, "Bersikap moderat (tidak berlebihan), menumbuhkan rasa sayang dirimu sendiri atas orang-orang, dan memberikan kabar (pengertian) bahwa perbuatan mereka (sendiri, tanpa pertolongan) tak akan membawa mereka ke surga." Hal ini tampak asing bagi Aisyah dan ia berpikir bahwa orang-orang yang tak berdosa tentu dikecualikan (terbebaskan). Ia bertanya, "Wahai Nabi, bukankah perilaku Anda merupakan jaminan untuk memasuki surga?"
Nabi saw menjawab, "Bahkan tidak, kecuali jika Tuhan menyelimuti diriku dengan rahmat dan ampunan-Nya.
Suatu ketika Nabi saw hendak tidur tanpa melaksanakan shalat Witir. Aisyah lantas mengingatkan beliau, yang kemudian dijawab oleh Nabi saw., "Mataku tidur tetapi hatiku tidak." Rupanya peringatan Aisyah dijawab dengan penuh bijaksana, tetapi jika Aisyah tidak ditegasi, masyarakat akan tetap dalam kebodohan terhadap kenyataan dari kenabian ini.
Di samping sejumlah pertanyaan dan diskusi ini, Nabi juga memperhatikan apa yang biasa dilakukan Aisyah, jika ia salah maka Nabi akan mengoreksinya. Beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi saw. Jangankan mengucapkan, 'Assalamu'alaika" (Keselamatan tetap untukmu), mereka justru mengatakan, 'Assam'alaika!" (Mampuslah engkau!). Nabi saw. menjawab, "Padamu juga." Tetapi Aisyah yang mendengarkan tak dapat mengontrol dirinya sendiri dan berkata, "Mampus dan terkutuklah kalian!" Nabi mengingatkannya untuk bersabar, sebab Allah menyukai orang yang sabar pada setiap masalah.
Seseorang telah mencuri barang Aisyah, dan dalam kemarahannya Aisyah mengutuk si pencuri. Nabi saw. mengingatkan, "Dengan mengutuk seperti itu tidak menambah pahalamu, juga dosa orang lain.
Aisyah pernah mendampingi Nabi saw dalam suatu perjalanan di atas punggung unta, dan untanya mulai berjalan tidak normal, maka Aisyah mengumpatnya. Kemudian Nabi mengembalikan untanya dengan mengata-kan bahwa barang yang diumpat itu tidak dapat pergi dengannya. Ini berarti bahwa Nabi melarang Aisyah, bahwa seseorang tak boleh berbicara jelek walaupun pada binatang.
Pada umumnya orang-orang dan khususnya perempuan, tidak meng-hiraukan dosa-dosa kecil. Nabi bersabda kepada Aisyah, "Jauhilah, sekalipun dari dosa-dosa kecil, sebab dosa kecil itu besok akan tetap diperhitungkan." Selama pada suatu pembicaraan Aisyah menggambarkan seorang perempuan sebagai memiliki derajat rendah. Nabi saw menghentikan pembicaraannya dengan menyatakan bahwa itu termasuk fitnah.
Safiyah, salah satu istri Nabi, adalah orang yang berstatus rendah dan Aisyah mencontohkannya selama pembicaraan. Nabi saw. mengingatkan, "Jika engkau mengeruhkan air di suatu danau dengan apa yang telah dikatakan, ia akan membuat rasa asam."
Aisyah berkata bahwa itu adalah suatu kenyataan. Nabi menyatakan bahwa beliau tidak akan berbicara seperti itu walaupun akan memperoleh hadiah seisi dunia.
Suatu ketika seorang pengemis menghampiri pintu rumah Nabi. Atas petunjuk Aisyah, pembantu rumah tangganya mengambilkan sesuatu untuk diberikan kepada pengemis dalam jumlah sedikit. Nabi saw. bersabda, "Janganlah berperhitungan dalam bersedekah, atau Allah akan menyempitkan rezeki bagimu!"
Judul: Memoar Aisyah r.a, Istri Kinasih Baginda Rasul Saw.
Penulis: Sulaiman an-Nadwi
Penerbit: -
BAB I
AISYAH R.A. (ASH-SHIDDIQAH): MASA KECIL, PERNIKAHAN DAN WAFATNYA
AISYAH R.A. (ASH-SHIDDIQAH): MASA KECIL, PERNIKAHAN DAN WAFATNYA
Bismillahirrahmanirrahim
AISYAH r.a. bergelar ash-Shiddiqah. Nama kecilnya adalah Humairah, julukan (kunniyat) dari Ummu Abdullah, juga dinamai Ummul Mu'minin ("Ibu Kaum Mukminin"). Ia tidak mempunyai anak dan sebutan keluarganya ber-dasarkan nama saudara perempuannya, Asma' binti Abu Bakar. Ia memakai nama keluarga yang merupakan penghargaan orang-orang Arab sebagai tanda kaum bangsawan. Ayahnya adalah Abdullah yang lebih dikenal bernama Abu Bakar dan mendapat julukan ash-Shiddiq. Sementara Aisyah merupakan cucu Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Amar bin Ka'ab bin Sa'ad bin Tayim bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Fihr bin Malik. Ibunya adalah Ummu Rauman Zainab binti Amir bin Uwaimir bin Abdusy-Syams bin 'Itab bin Uzainah bin Sabi'i bin Dahman bin al-Harits bin Ghanam bin Kinanah. Dengan demikian dari ayahnya, ia merupakan keturunan suku Quraisy Tayimiah dan dari pihak ibunya keturunan suku Quraisy Kinaniyah. Dari sisi ayah, silsilahnya bertemu dengan Rasulullah saw pada generasi ketujuh atau kedelapan. Dan dari ibunya bertemu pada keturunan yang kesebelas atau dua belas.
Suami pertama ibunya adalah Abdullah Fiza'i. Dan setelah suami pertama wafat, maka ia menikah lagi dengan Abu Bakar dan mempunyai dua anak, yaitu Abdurrahman dan Aisyah.
Ada perbedaan pendapat di antara para ahli sejarah tentang tahun kelahiran Aisyah; kemungkinan besar ia dilahirkan pada tahun kelima (atau keenam) dari kenabian. Rumah keluarga Abu Bakar penuh dengan rahmat Allah, dan rumah tangganya merupakan keluarga yang mula-mula mendapat-kan cahaya Islam, sementara Aisyah adalah salah satu di antara orang yang beruntung, karena ia tidak sempat berkenalan dengan paganisme (penyembah berhala). Aisyah berkata bahwa sejak semula dirinya mengetahui, bahwa kedua orangtuanya adalah Muslim.
Masa Kecil
Kalangan terpandang menunjukkan kebesaran mereka lewat perilaku dan adat istiadatnya, dalam tahun-tahun pertama pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Mereka menunjukkan bakat dan kecerdasan sebagai pertanda ketinggian derajat dalam hidup mereka kelak. Begitu juga Aisyah, tingkah lakunya amat mulia. Sebagai seorang anak, ia gemar mainan dan bermain sebagaimana anak-anak yang lain. la biasa berkumpul dengan teman-teman sebayanya dan bermain dengan mereka.
Begitu juga pada masa kanak-kanak, ia sangat dekat dengan Nabi, dan jika Nabi saw berkesempatan berpapasan dengan kelompok main Aisyah, mereka akan menyembunyikan mainannya dan dia sendiri bersembunyi. Tetapi Nabi meminta mereka meneruskan permainan mereka. Aisyah sangat gemar pada mainan boneka dan bermain ayunan. Salah satu dari mainannya adalah boneka kuda yang memiliki dua sayap. Nabi saw bertanya kepadanya, "Apa ini?" Aisyah menjawab bahwa itu adalah kuda. Nabi berkata bahwa kuda tak mempunyai sayap. Tiba-tiba ia menjawab, "Kuda Nabi Sulaiman punya sayap," maka Nabi saw pun tersenyum. Jawaban ini menunjukkan kepandaian, pengetahuan agama dan ketajaman intelektualnya.
Umumnya, anak-anak yang berumur di bawah tujuh atau delapan tahun adalah kurang hati-hati dan masa bodoh. Tetapi Aisyah memahami setiap arti sesuatu dari masa kanak-kanaknya, dapat menjelaskan arti dan tujuan mereka dan jika ada ayat al-Qur'an yang dibacakan kepadanya, ia terbiasa menghafalnya. Ia menyatakan bahwa saat sedang bermain, ketika itu turun ayat, "Sebenarnya hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit." (Q.S. al-Qamar: 46).
Pada waktu hijrah ke Madinah, Aisyah berumur delapan tahun, tetapi tak ada yang dapat mengingat secara detail dari peristiwa itu, kecuali dirinya.
Pernikahan
Istri Nabi saw yang pertama adalah Khadijah, putri dari Khuwallid yang hidup dengan beliau selama 25 tahun sampai wafatnya pada umur 65 tahun. Ia mening¬gal di bulan Ramadhan tahun kesepuluh dari masa kenabian, tiga tahun sebelum hijrah. Kala itu Nabi saw. berumur 50 tahun. Khadijah adalah orang kedua yang memeluk agama Islam dan telah banyak memberikan dorongan yang sangat berharga dengan penuh kesabar¬an kepada suaminya dalam usaha menegakkan keadilan dan mengatasl berbagai kesulitan. Ia amat simpatik dan menemani Nabi saw dalam setiap kesengsaraan serta selalu memberikan bantuan kepada beliau. Setelah pendamping hidupnya yang tercinta dan penuh penger¬tian itu wafat, Nabi sangat sedih dan murung, sehingga kehidupan sehari-hari merupakan penderitaan tersen¬diri bagi beliau. Banyak pengikut Nabi khawatir terhadap beliau. Khaulah binti Hakim, istri dari Utsman bin Mazh'un, sahabat Nabi saw., mendekati beliau dan menasihati agar Nabi menikah kembali. Nabi bertanya dengan perempuan mana beliau hendak menikah? Khaulah berkata bahwa ada seorang janda dan seorang gadis, masing-masing Saudah (seorang janda) putri Zama'ah dan Aisyah (yang masih gadis) putri Abu Bakar r.a. Nabi saw menyerahkan wewenang kepada Khaulah untuk menyampaikan permohonannya.
Pertama Khaulah menghubungi Abu Bakar untuk mengizinkan pernikahan ini, walaupun Aisyah sudah ditunangkan dengan Jabir bin Muthim. Sebelum memberikan izin kepada Nabi saw., Abu Bakar lebih dahulu menghubungi Muth'im bin Adi [ayah Jabir] yang belum masuk Islam. Istri Abu Bakar berkata bahwa jika Aisyah menjadi anggota keluarga mereka (Muth'im), anak-anaknya akan mengabaikan agama yang belum diterimanya. Dan akhirnya pertunangan dibatalkan.
Sebelum pernikahan beliau dengan Aisyah, Nabi saw telah bermimpi dimana malaikat memberikan kepada beliau sesuatu yang terbungkus oleh kain sutra. Nabi saw mengetahui dari malaikat, apa arti ini semua dan malaikat berkata bahwa ini adalah istri beliau. Ketika membuka tutup dari sutra itu, Nabi melihat Aisyah di dalamnya.
Ketika pernikahan dilaksanakan, Aisyah masih berumur 9 tahun, tetapi ia telah cukup terbentuk baik fisik maupun rnentalnya dalam cuaca Arab. Aisyah sendiri menyatakan bahwa maskawinnya seharga 500 dirham.
Setelah perayaan pernikahan, Aisyah tinggal dengan orangtuanya selama tiga tahun, yang mana selama dua tahun tiga bulan berada di Mekkah dan sembilan bulan, di Madinah setelah hijrah. Aisyah ingin menemani ayahnya ketika orangtuanya itu melaksanakan hijrah ke Habasyah (Abesinia), tetapi dihalangi oleh Ibnu ad-Dughunna agar mereka tidak melakukannya.
Penyiksaan terhadap orang-orang Islam oleh kaum penyembah berhala Mekkah, menyebabkan hijrahnya mereka ke Madinah. Ketika Nabi saw memutuskan hijrah sendiri, menurut Aisyah, beliau biasa mengunjungi Abu Bakar setiap hari, baik di pagi atau malam hari. Suatu hari Nabi mengunjungi Abu Bakar pada sore hari dan beliau menutupi wajahnya dengan kain. Nabi mendekati Abu Bakar dan memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Anak perempuan Abu Bakar, Aisyah dan Asma' mengumpulkan kebutuhan untuk perjalanan. Meninggalkan keluarga di Mekkah, mereka hijrah ke Madinah dan menghindari musuh yang senantiasa mengganggu mereka. Mereka mencapai Madinah tanggal 12 Rabl'ul Awwal, 14 tahun setelah masa kenabian.
Setelah beberapa saat berada di Madinah, Nabi mengirim Zaid bin Haritsah dan pembantunya, Abu Rafa'i untuk membawa keluarganya dari Mekkah. Begitu juga Abu Bakar mengirim seseorang dengan mereka. Abdullah bin Abu Bakar mengawal ibunya dan dua saudara perempuannya dalam perjalanan ke Madinah. Tiba-tiba unta yang dikendarai Aisyah mulai berlari kencang pertanda bahaya dan kadang terpuruk beberapa saat, ibu Aisyah pun mulai menangis. Kemudian unta pun berjalan perlahan-lahan setelah berlari beberapa mil. Ketika rombongan ini sampai di Madinah, Nabi saw telah mendirikan masjid dan beberapa rumah. Dua putri Nabi saw., Fatimah dan Ummu Kultsum, serta istri beliau Saudah binti Zama'ah, menempati salah satu dari rumah itu. Aisyah tinggal dengan ibunya di rumah yang ditempati oleh Bani Harits bin Khazraj.
Cuaca di Madinah tidak cocok bagi kaum Muhajirin dan banyak di antara mereka yang jatuh sakit. Abu Bakar sakit dan dirawat oleh putrinya. Ketika ia mengeluh akan kesehatan ayahnya, sang ayah membacakan sebuah syair berkenaan hal itu:
"Setiap anggota keluarga adalah ujian dan bahwasanya maut itu lebih dekat kepadanya daripada tali sepatunya." Aisyah memberitahukan kondisi ayahnya kepada Nabi saw. agar beliau mendoakan kesembuhannya. Ayahnya lantas sembuh, namun kemudian giliran putrinya (Aisyah) jatuh sakit. Banyak rambutnya yang rontok. Ketika kesehatannya pulih secara total, Abu Bakar mendekati Nabi, dan meyakinkan beliau bahwa Aisyah dapat dipanggil ke rumah beliau. Rasul saw menyatakan bahwa beliau tak punya uang untuk membayar mahar. Abu Bakar menawari memberi pinjaman yang diterima Nabi dan kemudian diberikannya kepada Aisyah.
Para perempuan Anshar datang ke rumah Abu Bakar. Ummu Rauman memandikan dan merias pengantin perempuan, lantas didekatkan kepada kaum perempuan Anshar yang kemudian berkata, "Kehadiranmu telah mendatangkan rahmat dan keberuntungan."
Tak lama kemudian Nabi saw. datang. Tak ada sesuatu pun untuk diberikan kepada Nabi kecuali semangkok susu. Nabi meminumnya seteguk, kemudian memberikannya kepada Aisyah yang malu-malu untuk meminumnya. Para perempuan Anshar itu menyarankan Aisyah untuk tidak menolak pemberian Nabi. Kemudian ia mengambilnya. Nabi saw memintanya untuk memberikan itu juga kepada teman-temannya, tetapi mereka berkata bahwa mereka tidak haus. Nabi saw. bersabda, "Jangan berkata bohong, karena setiap kebohongan dicatat!"
Pemberangkatan pengantin perempuan dari rumah orangtuanya dilakukan pada tanggal 1 Syawal setelah hijrah. Perhelatan pernikahan itu sangat sederhana.
Suatu pernikahan yang tidak sebagaimana biasanya. Pertama, orang Arab tidak memberikan bantuan bagi anak-anak perempuannya kepada (siapa mereka memanggil) saudara-saudara laki-lakinya (walaupun mereka bukan benar-benar saudara). Abu Bakar mengajukan keberatannya, tetapi Nabi saw bersabda bahwa saudara seiman bukanlah benar-benar saudara yang dapat dikategorikan sebagai larangan. Kedua, orang-orang Arab menganggap bulan Syawal adalah bulan yang tidak baik untuk pemberangkatan pengantin perempuan. Pernikahan dan pemberangkatan Aisyah kedua-duanya terjadi pada bulan tersebut. Orang Arab juga mempunyai kebiasaan menyalakan lampu obor sebelum perayaan dan seorang suami biasanya pertama berjumpa dengan pengantin perempuannya di pelaminan. Semua kebiasaan-kebiasaan tersebut ditinggalkan pada pernikahan ini.
Pendidikan dan Asuhan
Tidak banyak laki-laki di antara orang Arab yang pandai membaca dan menulis, juga perempuannya. Pada waktu Islam diturunkan, tidak lebih dari tujuh belas orang yang bisa membaca dan menulis di kalangan seluruh kaum Quraisy. Di antara mereka hanya ada satu orang perempuan, yaitu Syafa' binti Abdullah Adwiyah. Dari sekian banyak kelebihan yang dibawa oleh Islam, keadaan inilah yang diupayakan dalam era pendidikan dan pengajaran dengan penyebaran Islam. Sebagai tebusan bagi para tawanan Perang Badar: siapa yang pandai masing-masing harus mengajar sepuluh anak Muslim. Ada 100 orang yang diajar membaca dan menulis oleh Syafa'. Di antara istri-istri Nabi saw., Hafsah dan Ummu Salamah dapat membaca dan menulis; Hafsah telah belajar dari Syafa' binti Abdullah atas petunjuk Nabi. Banyak kaum laki-laki datang secara pribadi kepada Nabi, dan para sahabat mulia terkemudian mendapatkan inspirasi spiritual dan muncul rasa keagungan yang sebelumnya tidak mereka kenal. Suatu kesempatan baik yang belum didapatkan perempuan. Istri Nabi saw sendiri yang dekat dengan beliau memperoleh pengajaran langsung dari beliau dan secara pelan-pelan menyebarluaskan (Islam), dan di antara mereka banyak yang mengabdikan diri untuk berdakwah. Semua istri Nabi adalah para janda kecuali Aisyah, dan hanya dialah yang beruntung mendapat asuhan yang membentuk pribadinya lewat kasih sayang serta bimbingan Nabi Muhammad saw. Dengan kehendak Allah swt., sejak awal masa pendidikan dan asuhannya, ia dijauhkan dari lingkungan yang tidak baik dan dibawa ke tempat tinggal Nabi untuk mendapatkan teladan dan kasih sayang agar menjadi penerang dan pembimbing bagi kaum Muslimah.
Di antara orang-orang Quraisy, Abu Bakar adalah ahli silsilah keturunan dan penyair. Aisyah menguasai seni semacam ini sebagai turunan dari keluarganya, tetapi pendidikannya yang sebenarnya diperoleh setelah menikah. la mulai belajar membaca dan menulis serta dalam waktu singkat sudah dapat membaca al-Qur'an. Membaca dan menulis adalah, betapapun, semata-mata wujud lahiriah dari pendidikan. Hakikat dari belajar dan pendidikan yang sesungguhnya adalah jauh lebih tinggi. Hal itu meliputi perkembangan nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran budi, pemahaman tentang dasar-dasar agama, serta ketetapan dan perintah Nabi saw., juga pengetahuan dari ayat-ayat Allah. Aisyah dikaitkan dengan ini semua yang diketahui dari tingkat kecerdasannya. Selain dari pengetahuan agama, ia pun mengetahui tentang sejarah dan kesusastraan serta berbagai pengobatan. Ia belajar sejarah dan kesusastraan dari ayahnya, dan kedokteran dari beberapa ahli kedokteran Arab yang mengunjungi Nabi saw. Ia telah belajar berbagai macam penyakit dan pengobatan dari mereka.
Nabi biasa memberi pengertian keagamaan sehari-hari di rumahnya dan Aisyah sangat teliti juga tekun mendengarkannya. Jika mempunyai masalah tentang sesuatu, ia akan bertanya kepada Nabi saw setelah ceramah. Aisyah biasa mengajar para perempuan yang berkumpul di rumahnya secara mingguan. Siang dan malam ia biasa mendengarkan pokok pembicaraan, dalil-dalil dan hukum agama dari Nabi saw. Aisyah sendiri biasa menyikapi suatu masalah. Nabi memberi pemecahan dan tidak akan berhenti sebelum masalahnya jelas dan terpecahkan baginya. Suatu ketika Nabi saw. bersabda, "Siapa pun akan dihisab di akhirat, dan amal baiknya akan ditaksir."
Aisyah berkata bahwa Allah swt. berfirman, "Adapun orang yang diberikan kitabnya dari setelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah." (Q.s. al-Insyiqaq: 7-8)
Nabi berkata bahwa hal ini berkaitan dengan penjelasan tentang perhitungan, tetapi seseorang diharuskan melewati suatu ujian dan pertanyaan yang sulit. Suatu hari Aisyah bertanya kepada Nabi saw tentang firman Allah, "(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah Yang Mahakuasa lagi Mahaperkasa." (Q.s. Ibrahim: 48)
Tetapi pada ayat lain Allah swt. berfirman, "Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya." (Q.s. az-Zumar: 67)
Aisyah menyela, "Akan dikemanakan manusia jika tidak ada bumi dan langit (surga)?"
Nabi saw. menjawab, "Antara dunia dan akhirat." Selama mengkaji ayat Allah, Nabi bersabda, "Pada hari Kebangkitan orang-orang akan dibangkitkan dalam keadaan telanjang."
Aisyah bertanya, "Wahai utusan Allah! Jika laki-laki dan perempuan dibangkitkan bersama-sama, akankah pandangan mereka saling memperhatikan secara bersama pada saat itu?"
Nabi saw. menjawab, "Ini merupakan saat yang sangat dahsyat, tak seorang pun akan berpikir yang lain."
Aisyah kemudian meminta keterangan, "Akankah seseorang ingat pada yang lain di hari itu?"
Nabi menjawab, "Tidak, pada tiga kesempatan ketika orang akan ditimbang amal perbuatannya, saat buku catatan amalnya akan diberikan kepadanya, dan tatkala neraka akan meraung-raung meminta tiga macam manusia."
Ia ingin bertanya apakah perbuatan yang baik dari orang kafir dan penyembah banyak tuhan akan mendapat balasan. Abdullah bin Jad'an adalah orang kafir yang baik budi di Mekkah yang memanggil orang-orang Quraisy untuk memutuskan pelanggaran dan pertumpahan darah, dan Nabi saw ikut serta dalam pertemuan itu. Aisyah meminta penjelasan, "Wahai Nabi Allah! Selama hidupnya Abdullah bin jad'an biasa memperlakukan orang secara baik dan memberi makan orang miskin. Akankah ada balasan dari kedermawanan dan kebaikannya?" Beliau menjawab, "Tidak Aisyah, ia tidak pernah bertobat kepada Allah [atas kekafirannya] untuk menghapus dosa-dosanya hingga datang hari keputusan."
Jihad adalah kewajiban yang harus dipenuhi setiap Muslim, dan Aisyah berpandangan bahwa tak ada perbedaan antara Muslim laki-laki maupun perempuan; dimana jihad juga diwajibkan bagi perempuan. Aisyah meminta keterangan masalah ini kepada Nabi saw yang kemudian dijawab oleh beliau, "Jihad bagi perempuan adalah pergi haji."
Untuk suatu pernikahan, persetujuan dari perempuan sangat perlu, tetapi para gadis tak membicarakan tentang hal ini. Aisyah bertanya kepada Nabi, "Akankah persetujuan dari calon pengantin perempuan juga diminta sebelum pernikahan?"
Ketika dijawab oleh Nabi saw. bahwa diperlukan persetujuan mereka, Aisyah lantas berkata, "Tetapi pihak perempuan akan tetap diam jika dimintai pendapat."
Nabi bersabda, "Diamnya itu menunjukkan persetujuannya."
Dalam Islam, tetangga lebih utama daripada yang lain, tetapi bila seseorang mempunyai dua orang tetangga yang sangat dekat, kemudian siapa yang lebih utama diberi? Aisyah menjawab pertanyaan ini sebelum Nabi saw memberi jawaban, "Yaitu tetangga yang pintu rumahnya lebih dekat."
Suatu hari Aisyah kedatangan tamu yang pernah mengasuhnya sewaktu kecil (yang berperan dalam mendidiknya), yaitu pamannya. Tetapi Aisyah tak mau menemuinya dan berkata, "Jika aku pernah menyusu kepada seorang perempuan, apa yang harus aku kerjakan dengan saudara laki-laki dari suaminya?"
Ketika Nabi saw datang, ia meminta keterangan tentang hal ini, kemudian beliau menjawab, "ia adalah pamanmu, perkenankan ia masuk dan temuilah!"
Ada ayat yang berbunyi, "Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (Q.s. al-Mu'minun: 60)
Aisyah ragu-ragu jika dalam hal ini termasuk juga pencuri, pemabuk dan orang-orang jahat yang takut kepada Allah swt. Nabi menyatakan bahwa hal ini hanya untuk orang-orang yang memelihara shalatnya dan suka melaksanakan puasa serta merasa takut kepada Allah."
Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa gembira berjumpa dengan Allah, maka Allah juga gembira dengannya, dan barangsiapa tak suka berjumpa dengan Allah, maka Allah juga tidak suka berjumpa dengannya."
Aisyah berkata, "Tak seorang pun dari kita suka berjumpa dengan kematian."
Nabi menyatakan bahwa ini bukan arti dari ayat tadi. Namun, hal ini berarti bahwa ketika seorang Mukmin mendengar tentang Rahman dan Rahim-Nya juga tentang surga, hatinya ingin cepat-cepat bersua Allah, dan Allah pun niscaya segera berjumpa dengannya. Dan tatkala orang kafir mendengar tentang hukuman dan kemurkaan Allah, mereka benci bertemu dengan-Nya dan Allah swt. juga benci terhadapnya.
Banyak pertanyaan dan diskusi Aisyah seperti ini yang ditulis dalam buku-buku hadis, yang mana dalam kenyataan, merupakan bagian dari pendidikan dan pengajarannya.
Suatu hari seorang laki-laki ingin bertatap muka dengan Nabi saw yang memberikan izin kepadanya untuk memasuki ruangan, walaupun beliau mengetahui bahwa orang itu adalah penjahat dan pendosa. Ketika orang itu masuk, Nabi berbicara kepadanya dengan ramah-tamah dan penuh perhatian. Ketika tamu itu telah pergi, Aisyah meminta keterangan, mengapa Nabi menyambutnya sedemikian rupa, padahal beliau mengetahui bahwa ia adalah pendosa. Nabi saw. menjawab, "Sejelek-jelek manusia adalah orang yang dihindari (diacuhkan orang) karena perbuatannya yang tidak patut."
Dalam suatu kesempatan Nabi saw. bersabda, "Bersikap moderat (tidak berlebihan), menumbuhkan rasa sayang dirimu sendiri atas orang-orang, dan memberikan kabar (pengertian) bahwa perbuatan mereka (sendiri, tanpa pertolongan) tak akan membawa mereka ke surga." Hal ini tampak asing bagi Aisyah dan ia berpikir bahwa orang-orang yang tak berdosa tentu dikecualikan (terbebaskan). Ia bertanya, "Wahai Nabi, bukankah perilaku Anda merupakan jaminan untuk memasuki surga?"
Nabi saw menjawab, "Bahkan tidak, kecuali jika Tuhan menyelimuti diriku dengan rahmat dan ampunan-Nya.
Suatu ketika Nabi saw hendak tidur tanpa melaksanakan shalat Witir. Aisyah lantas mengingatkan beliau, yang kemudian dijawab oleh Nabi saw., "Mataku tidur tetapi hatiku tidak." Rupanya peringatan Aisyah dijawab dengan penuh bijaksana, tetapi jika Aisyah tidak ditegasi, masyarakat akan tetap dalam kebodohan terhadap kenyataan dari kenabian ini.
Di samping sejumlah pertanyaan dan diskusi ini, Nabi juga memperhatikan apa yang biasa dilakukan Aisyah, jika ia salah maka Nabi akan mengoreksinya. Beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi saw. Jangankan mengucapkan, 'Assalamu'alaika" (Keselamatan tetap untukmu), mereka justru mengatakan, 'Assam'alaika!" (Mampuslah engkau!). Nabi saw. menjawab, "Padamu juga." Tetapi Aisyah yang mendengarkan tak dapat mengontrol dirinya sendiri dan berkata, "Mampus dan terkutuklah kalian!" Nabi mengingatkannya untuk bersabar, sebab Allah menyukai orang yang sabar pada setiap masalah.
Seseorang telah mencuri barang Aisyah, dan dalam kemarahannya Aisyah mengutuk si pencuri. Nabi saw. mengingatkan, "Dengan mengutuk seperti itu tidak menambah pahalamu, juga dosa orang lain.
Aisyah pernah mendampingi Nabi saw dalam suatu perjalanan di atas punggung unta, dan untanya mulai berjalan tidak normal, maka Aisyah mengumpatnya. Kemudian Nabi mengembalikan untanya dengan mengata-kan bahwa barang yang diumpat itu tidak dapat pergi dengannya. Ini berarti bahwa Nabi melarang Aisyah, bahwa seseorang tak boleh berbicara jelek walaupun pada binatang.
Pada umumnya orang-orang dan khususnya perempuan, tidak meng-hiraukan dosa-dosa kecil. Nabi bersabda kepada Aisyah, "Jauhilah, sekalipun dari dosa-dosa kecil, sebab dosa kecil itu besok akan tetap diperhitungkan." Selama pada suatu pembicaraan Aisyah menggambarkan seorang perempuan sebagai memiliki derajat rendah. Nabi saw menghentikan pembicaraannya dengan menyatakan bahwa itu termasuk fitnah.
Safiyah, salah satu istri Nabi, adalah orang yang berstatus rendah dan Aisyah mencontohkannya selama pembicaraan. Nabi saw. mengingatkan, "Jika engkau mengeruhkan air di suatu danau dengan apa yang telah dikatakan, ia akan membuat rasa asam."
Aisyah berkata bahwa itu adalah suatu kenyataan. Nabi menyatakan bahwa beliau tidak akan berbicara seperti itu walaupun akan memperoleh hadiah seisi dunia.
Suatu ketika seorang pengemis menghampiri pintu rumah Nabi. Atas petunjuk Aisyah, pembantu rumah tangganya mengambilkan sesuatu untuk diberikan kepada pengemis dalam jumlah sedikit. Nabi saw. bersabda, "Janganlah berperhitungan dalam bersedekah, atau Allah akan menyempitkan rezeki bagimu!"