Kamis, 28 April 2011

POSISI TAWAR SUTRA WAJO

ARTIKEL

Wajo telah menjadi sentra penghasil kain sutra bagi kebutuhan industri batik bagi Pekalongan dan Yogyakarta. Namun di sisi lain, kain sutra Wajo menunjukkan bahwa industri ini belum memiliki posisi tawar yang menguntungkan di pasaran kain sutra. Hal itu diakui oleh Andi Makkasau dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Wajo, yang menyebutkan bahwa Sutra Wajo yang dilepas ke pasar internasional, adalah kain yang sudah didesain dengan motif batik, yang dilakukan oleh industri batik di Pekalongan dan Yogyakarta. Sutra Wajo masih sangat tergantung pada pasar di Jawa.
Meskipun permintaan pasar di Jawa sangat tinggi, namun industri batik Wajo tidak dapat menentukan harga sendiri, karena masalah harga tersebut ditentukan oleh industri batik di Jawa. Volume permintaan pasar juga tidak dapat mendongkrak harga kain. Menurut Andi Makkasau, pasar di Jawa selalu meminta produksi kain batik dalam jumlah besar, namun mereka sudah menetapkan harga. Ketika pengusaha kain sutra Wajo menginginkan harga yang lebih tinggi, biasanya ditolak oleh pembeli dari Jawa, sehingga pengusaha lokal harus bisa menerima harga yang telah ditentukan oleh pembeli. Selain itu, produksi kain sutra Wajo belum dapat dilepas secara langsung ke pasar internasional, karena Wajo hanya dapat menghasilkan kain sutra polos. Sementara pasar menginginkan kain sutra dengan desain yang menarik, yang belum dapat dipenuhi oleh industri kain sutra wajo.

Ketergantungan kebutuhan benang impor dari Cina juga menjadi kendala industri dalam pengembangan pertenunan kain sutra Wajo. Industri ini hanya akan bisa berlanjut bila pasokan benang sutra tetap tersedia. Untuk saat ini, ketersediaan bahan baku benang sutra dari Cina masih tetap berjalan lancar, sehingga penenunan sutra tetap dapat berlangsung dengan baik.
Industri kain sutra di Sulawesi Selatan, khususnya di Wajo, menurut Noriko Inozume, pakar bidang pengembangan satu desa satu komoditas (One Village One Product) dari JICA (Japan International Cooperation Agency), ada kemungkinan indusrtri sutra Wajo menghadapi persaingan besar melawan industri kain sutra dari China. Kalau selama ini Pekalongan dan Yogyakarta masih menjadi pasar utama industri Sutra Wajo, bukan tidak mungkin Cina akan memotong jalur tersebut dengan menjadi memasok kain sutra bagi kebutuhan industri batik di kedua daerah tersebut dengan harga yang lebih murah. Apalagi sampai saat ini industri sutra Wajo masih tergantung sepenuhnya pada benang impor dari Cina dan Hongkong. Sehingga tidak sulit bagi Cina untuk menekan industri sutra Wajo sekaligus mengambilalih posisinya.
Dalam mengantisipasi hal tersebut, Inosume mengatakan, industri kain sutra Wajo sudah saatnya meluaskan bidang usaha, tidak hanya memproduksi kain polos, tetapi juga membuat desain. Dengan demikian, Wajo tidak hanya memproduksi kain setengah jadi, tetapi juga memproduksi kain jadi yang siap di jual. Untuk itu, katanya, pengusaha sutra Wajo harus bisa mengadopsi pengetahuan dari Jawa dalam mendesain kain sutra seperti batik.
Hal itu sendiri, menurut Andi Makassau, telah diupayakan oleh pengusaha sutra lokal didukung oleh Pemda Wajo. Dia menyebutkan, salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan mengirim tenaga persutraan ke Pekalongan untuk belajar mendesain. ”Sudah ada pengusaha disini yang telah mengirim 200 pekerjanya untuk belajar desain di Pekalongan,” kata Andi Makkasau.
Untuk pengembangan sutra Sulsel, JICA-RDPLG (Regional Development Policies for Local Government) bekerjasama dengan Bappeda Sulsel telah menyusun konsep kerjasama Pembangunan Industri Sutra Alam dan Industri Sultra di Sulsel. Kerjasama tersebut melibatkan empat kabupaten masing-masing Kabupaten Soppeng, Enrekang, Sidrap dan Wajo. Selain itu, Pemda Sulsel juga telah meluncurkan program Gerbang Emas (Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat) dengan salah satu targetnya adalah pengembangan industri sutra Sulsel.
Menurut Hiroyuki Sakuma, expert JICA-RDPLG Makassar, dalam makalahnya yang disampaikan pada konferensi internasional Indonesian Regional Science Association (IRSA) di Yogyakarta Juli lalu, kerjasama tersebut untuk kegiatan industri hulu hingga hilir. Soppeng sebagai penghasil murbei, ulat sutra dan kepompong, bersama Enrekang sebagai pusat pemintalan benang merupakan industri hulu, yang mendukung industri hilir yang berada di Sidrap dan Wajo sebagai pusat penenunan kain sutra.
Kegiatan di keempat kabupaten tersebut diharapkan dapat didukung oleh Balai Sutra Alam yang ada di Kabupaten Gowa serta Perhutani untuk pengembangan di hulu, sedangkan Unhas dapat membantu penelitian baik di hulu maupun di hilir. Selain itu, dibutuhkan satu lembaga khusus sebagai pusat desain sutra yang untuk mendukung industri tekstil hingga ke pemasaran.
Konsep tersebut kini telah mulai diterapkan untuk mendukung pengembangan industri sutra Sulsel. Bila konsep tersebut dapat diwujdukan, bukan tidak mungkin industri sutra Sulsel akan lebih mandiri dan tidak tergantung lagi pada impor bahan baku dari negara lain. (**)