BUKU
Judul: Anregurutta KH Abd Muin Yusuf, Ulama Kharismatik dari Sidenreng RappangPenulis: Wahidin Ar-Raffany
Penerbit: Lakpesdam Sidrap, 2008
Bab I
PENDAHULUAN
KALI Sidenreng adalah sebuah nama yang sangat melegenda di bumi Nene Mallomo. Gelar itulah yang hingga kini masih melekat pada diri seorang ulama kharismatik, Almaghfurlahu Anregurutta (AG) H. Abdul Muin Yusuf. Ia adalah sosok ulama besar yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sulawesi Selatan khususnya di Kab. Sidenreng Rappang dan sekitarnya. Pada tanggal 23 Juni 2004, dalam usia yang sudah cukup lanjut, ia menghadap Sang Khalik. Ketokohan dan keteladanan yang telah ia wariskan semasa hidup patut tetap dikenang untuk kemudian diteladani bersama dalam mengarungi hidup di tengah kondisi bangsa yang dilanda penyakit sosial seperti yang kita saksikan saat ini.
Kesederhanaan dan kerendahan hati Anregurutta senantiasa tercermin dalam kehidupan sehari-harinya. Hal itu terlihat ketika ia menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Sulawesi Selatan, ia lebih banyak menetap di Benteng, di rumah yang berukuran 8 x 12 meter yang bangunannya tidak berbeda dengan sebuah bangunan di sebelah rumahnya, yang merupakan kantor Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa. Biasanya, Anregurutta gurutta ke Makassar jika ada rapat MUI Sulawesi Selatan. Suatu hari, ia pernah ditawari oleh pengusaha terkemuka di Sulawesi Selatan yang sekarang menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia, H.M Yusuf Kalla untuk mengganti mobilnya, namun ia hanya menjawab, "berikan saja kepada orang yang lebih membutuhkannya. Cukuplah saya dengan mobil yang ada sekarang."
Anregurutta H. Abdul Muin Yusuf yang dalam lingkungan keluarga dan di kalangan santrinya lebih akrab dengan nama Puang Tommeng adalah salah satu dari beberapa ulama yang pernah ikut terlibat dalam gerakan DI/TII di bawah pimpian Kahar Muzakkar. Ia memutuskan untuk masuk hutan dan bergabung dengan gerakan DI/TII, meskipun pada saat itu ia scdang membina dan mengembangkan Yayasan Madrasah Pendidikan Islam (YMPI) Rappang yang berkembang pesat. Hal ini dilakukannya tentu bukan tanpa alasan dan pertimbangan yang cukup matang.
Di penghujung usia, Anregurutta bergelut dengan penyakit yang cukup parah selama lebih kurang 2 tahun, terhitung sejak tahun 2002 sampai 2004. Di tengah penyakit yang diderita itu praktis Anregurutta sudah tidak memiliki aktivitas lagi kecuali tetap membaca kitab-kitab di perpustakan pribadinya. Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa yang didirikannya diserahkan secara resmi pengelolaan dan pengembangannya lebih lanjut kepada cucunya yang telah menyelesaikan pndidikannya di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, yakni Ustadz H. Imran.
Pada akhir bulan April 2004, saat kampanye pemilu legislatif berlangsung, Anregurutta meminta dipindahkan ke rumah kediamannya di Rappang. Di rumah tersebut, Anregurutta masih sempat menerima tamu dari berbagai kalangan termasuk para pejabat tinggi di Sulawesi Selatan. Bupati Sidrap H.A.Ranggong, Wakil Bupati Sidrap Musafir Kelana AN, dan Syahrul Yasin Limpo yang saat itu masih menjabat Wakil Gubernur Sulawesi Selatan adalah tamu yang pernah diterima diakhir hayatnya. Dalam setiap menerima tamu tersebut, Anregurutta senantiasa berpesan agar pesantren yang telah didirikannya dijaga dengan sebaik-baiknya. Pesan tersebut sering disampaikan dalam bahasa Bugis, “Ingngerrangngi Mbo Pesantren, aja muallupaiwi (Ingatlah Pesantren, jangan pernah melupakannya)”.
Tidak lama setelah Gurutta dipindahkan ke Rappang, pada tanggal 10 Mel 2004, isteri tercinta Hj. Baderiah Binti Syaikh Jamal meninggal dunia. Ia meninggal dalam usia 84 tahun. Empat puluh lima hari setelah wafat sang isteri, pada tanggal 23 Juni 2004, Anregurutta menyusul sang isteri menghadap ke hadirat Allah SWT dalam usia 84 tahun, sama dengan usia isterinya.
Bab II
ULASAN HISTORIS KELAHIRAN DAN MASA PERKEMBANGAN
ANREGURUTTA H. ABDUL MUIN YUSUF
A. Sejarah Kelahiran dan Silsilah Keturunan
Abdul Muin Yusuf lahir di Rappang, 21 Mel 1920. Ia adalah anak ketiga dari pasangan H. Muh. Yusuf (Pammana Wajo) dengan A. Khatijah (Rappang Sidrap). Dalam catatan silsilahnya, Abdul Muin Yusuf masih keturunan seorang ulama besar di Wajo pada masa itu, Anregurutta KH. Muh. Nur. Ia adalah putera seorang Bugis yang pergi ke Makkah untuk belajar agama Islam yang kemudian menetap dan tanggal di sana. Dari garis keturunan ibu, Abdul Muin Yusuf mempunyai pertalian darah dengan bangsawan Rappang, yaitu Petta Sulle, Watang Rappang (Pejabat bawahan dari Addatuang Sidenreng).
Dalam setiap kesempatan, Petta Sulle Watang sering memberikan nasihat kepada kedua orang tua Andul Muin Yusuf agar memperhatikan pendidikan anak-anakya, "maelokoga pancaji pakkampi sapingngi ana’mu narekko maraajani?" Artinya; Apakah kamu mau membiarkan anak-anakmu kelak kalau besar menjadi pengembala sapi?
Orang tua Abdul Muin Yusuf adalah orang yang sangat sibuk di dunia perdagangan, namun kesibukan tersebut tidak kemudian mengalihkan kecintaannya pada agama. Kecintaan pada agama inilah yang mendasari setiap keputusannya dalam mengarahkan semua anak-anaknya belajar pendidikan agama. Dari sebelas bersaudara hanya satu dari saudara Gurutta yang mempunyai disiplin ilmu yang berbeda dengannya, yakni ilmu perikanan. Salah satu adik perempuannya yang akrab dipanggil dengan Puang Satong saat ini menjadi pembina Majelis Ta'lim Al-Muslimun yang didirikan sejak tahun 1989 oleh Anregurutta H. Abdul Muin Yusuf. Begitu pun adik laki-lakinya, Ibrahim Yusuf, juga dikenal sebagai seorang ustadz.
Terlahir di tengah kultur masyarakat Bugis yang umumnya pada saat itu masih memberi batasan kepada anak perempuan mereka untuk keluar rumah sehingga H. Muh. Yusuf lebih memprioritaskan pendidikan kepada anak-anak laki-laki ketimbang anak perempuannya. Kenyataan ini sendiri diakui oleh Puang Sitti bahwa anak laki-laki di keluarganya lebih diprioritaskan untuk mendapatkan pendidikan sekolah daripada anak perempuan. Selain itu, Abdul Muin Yusuf sendiri mendapat perhatian khusus, tidak hanya dari kedua orangtuanya, tetapi juga dari nenek-neneknya yang ikut mengontrol pendidikannya. Nenek Pammana, (demikian keluarga Abdul Muin Yusuf menyebut neneknya yang tak lain adalah nenek dari jalur Bapak), justru meramalkan bahwa anak itu (Abdul Muin Yusuf) menjadi "Paramata jamarro". Kedua orangtuanya sangat mencintai Abdul Win Yusuf karena ia bisa ceramah di depan umum serta membaca Al-Quran secara fasih. Tentunya hal tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi orangtuanya karena dapat mengangkat martabat keluarga. Lebih penting dari itu, orang yang bisa membaca Al-Qur'an dengan fasih diasumsikan telah memahami agama yang menjadi bekal dan pedoman hidup seseorang.
Di samping pengaruh kedua orang tuanya, Abdul Muin Yusuf juga mendapat banyak arahan dan dorongan untuk memperdalam ilmu agama dari sang nenek dari jalur ibu yang bernama Puang Ngakka. Puang Ngakka inilah kemudian yang mempunyai andil besar dalam menentukan karier Abdul Muin Yusuf. Kecintaan Puang Ngakka terhadap cucunya yang dilihatnya sebagai anak yang patuh, penurut, dan mempunyai bakat memperdalam agama mendorongnya untuk mengambil andil dalam menanggung sebagian biaya sekolah Abdul Muin Yusuf. Bahkan ketika Abdul Muin Yusuf belajar di Makkah, ia pun tak segan-segan menjual tanahnya untuk dijadikan biaya sekolah Abdul Muin Yusuf di sana.
Sejak kecil Abdul Muin Yusuf tumbuh menjadi anak yang pintar serta penurut pada orang tua dan gurunya. Di bawah asuhan dan bimbingan pamannya sendiri, ia memperlihatkan bakat dan kemampuannya dalam menguasai ilmu agama secara cepat. Oleh karena itu, sewaktu masih belajar, ia juga sudah terampil untuk mengajar pada sekolah yang sama sehingga adik-adiknya yang juga sekolah di tempat yang sama pun ikut merasakan ajaran dan didikan sang kakak.
Sama halnya dengan kedua orang tuanya, kakek-nenek (kedua belah pihak) dan paman, serta Syaikh Ali Mathar juga memberikan perhatian khusus kepada kemanakannya, termasuk ketika Abdul Muin Yusuf sedang belajar di Ainur Rafieq. Perhatian khusus tersebut menjadi lebih besar lagi ketika Syaikh Ali Mathar kedatangan tamu seorang syaikh dari Madinah yang bernama Syaikh Abdul Jawad. Dalam pesannya, Syaikh Abdul Jawad mengatakan kepada Ali Mathar agar Abdul Muin Yusuf dijaga dengan baik karena ia melihat adanya tanda-tanda pada diri Abdul Muin Yusuf yang akan menjadi seorang ulama besar di kemudian hari.
B. Masa Perkembangan
1. Masa Pendidikan Abdul Muin Yusuf yang Diwarnai konflik
Ketika memasuki usia 7 tahun, ia mulai belajar mengaji kepada salah seorang guru ngaji (kiai) kampung yang bernama H. Patang. Setelah itu, kemudian ia masuk sekolah umum di lnlandsche School yang waktu belajarnya dilakukan pada pagi hari, sedangkan pada sore harinya ia belajar agama di sekolah Ainur Rafieq. Sekolah Ainur Rafieq ini didirikan tahun 1931 oleh Syaikh Ali Mathar setelah ia memutuskan untuk tidak mengajar di sekolah Muhammadiyah yang disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan tentang paham keagamaan. Itulah sebabnya sehingga Abdul Muin Yusuf tidak sempat menyelesaikan pendidikannya di sekolah Muhammadiyah tersebut karena harus keluar dari sekolah itu dan ikut dengan sekolah yang didirikan pamannya, yakni Sekolah Ainur Rafieq.
Perlu diketahui bahwa pada tahun 1928 di Rappang telah ada sekolah Muhamadiyah yang didirikan oleh Mansur Al Yamini bersama dengan Buya Hamka. Mansur Al Yamini adalah orang Solo yang kemudian menjadi ipar Syaikh Ali Mathar. Syaikh Ali Mathar kemudian diminta untuk mengajar di sekolah tersebut.
Berselang beberapa tahun kemudian terjadilah konflik pemahaman antara Syaikh Ali Mathar dengan Muhammadiyah ketika dibentuk Majelis Tarjih Muhammadiyah yang kemudian lembaga tersebut mengeluarkan fatwa bahwa warga Muhammadiyah harus salat tarawih 8 rakaat. Karena merasa dirinya seakan-akan mendapat tekanan dan belum bisa menerima fatwa tersebut maka Syaikh Ali Mathar tidak mau langsung menerapkan fatwa tersebut sebelum mempelajarinya. Oleh karena itu, pada saat itu juga ia mengundurkan diri sebagai pengajar di sekolah Muhammadiyah dan mendirikan Ainur Rafieq. Akan tetapi, meskipun sudah menyatakan mundur, namun ia masih mengajar sekali-kali bila Buya Hamka memerintahnya. Buya HAMKA pun meminta kepadanya untuk tetap mengajar, tetapi Ali Mathar sudah pada pendiriannya bahwa tidak akan mengajar di sekolah yang dikelola Muhammadiyah. Buya HAMKA kemudian menyarankan untuk membuat sekolah yang tidak ada kaitannya dengan Muhammadiyah.
Syaikh Ali Mathar adalah orang pertama yang memberi dasar pelajaran agama kepada Abdul Muin Yusuf. Ia pun mengakui hal tersebut dengan menyatakan bahwa ilmu yang telah ia dapatkan itu ibarat kelapa, maka Syaikh Ali Mathar adalah orang yang mengawali membuka kulitnya. Intensitas pertemuan dirinya dengan pamannya itu tidak hanya berlangsung di dalam ruang kelas, tetapi boleh dikata siang dan malam Abdul Muin Yusuf selalu berada di bawah bimbingan dan kontrol pamannya. Bahkan kerap kali ia bermalam di rumah pamannya apabila sungai yang harus dilewati untuk menuju ke rumahnya dalam keadaan banjir. Hubungan yang begitu dekat antara Abdul Muin Yusuf dengan Syaikh Ali Mathar (guru dan murid/paman dan kemenakan), itulah kemudian yang membuat corak pemikiran keagamaan Abdul Muin Yusuf banyak dipengaruhi corak pemikiran keagamaan Syaikh Ali Mathar.
Selanjutnya, pada tahun 1934, Abdul Muin Yusuf kemudian melanjutkan pendidikan di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang didirikan oleh seorang ulama besar yakni Anregurutta H. As'ad pada tahun 1931 di Sengkang. Ketokohan, kharisma, serta luasnya ilmu agama yang dimiliki Anregurutta H. As'ad menjadikannya banyak didatangi murid dari berbagai daerah, termasuk Abdul Muin Yusuf. Oleh karena itu, pada saat itu pulalah, Sengkang telah menjadi pusat pendidikan agama Islam di Sulawesi Selatan sehingga sulit menemukan ulama besar di Sulawesi Selatan yang tidak pernah belajar di Sengkang. Selama Abdul Muin Yusuf belajar di Sengkang, ia banyak bertemu dan bergaul dengan orang yang kelak menjadi ulama besar di Sulawesi Selatan, seperti AG. H. Ambo Dalle, AG. H. Abduh Pabbaja, AG H. Daud Ismail, AG. H. Rafiq Sulaeman, dsb.
Konflik Ainur Rafieq dengan Muhammadiyah tidak menjadikannya bersikap untuk tidak berhubungan dengan orang Muhammadiyah. Oleh karena itu, ia pun memutuskan untuk masuk sekolah Normal Islam di Majene dan di Pinrang di mana sekolah tersebut didirikan oleh orang yang berlatar belakang Muhammadiyah yang berasal dari Sumatra. Justru setelah belajar di Normal Islam, Abdul Muin Yusuf semakin tidak fanatik dalam berpikir dan berpegang pada satu mazhab.
Menimba pengetahuan di sekolah yang mempunyai pemahaman keagamaan yang sering berbeda paham dan bahkan berkonflik, telah memaksanya untuk senantiasa mencari warna baru yang lebih mencerminkan konvergensi antar kedua pihak yang bertentangan. Ia pun terbiasa untuk toleran (tidak langsung menyalahkan pendapat orang) dan tidak pernah memaksakan kehendak atau paham kepada seseorang termasuk murid-muridnya bahkan dalam keluarganya sekalipun. Prinsip itu terus dipegang dan menjadi warna-warni dalam kehidupan keluarganya sampai sekarang. Cerminan pemikiran Abdul Muin Yusuf ini tergambar dari kenyataan bahwa tidak satu pun murid yang ikut dengan corak pemikirannya menjadi fanatik.
Sewaktu menunaikan ibadah haji di Makkah, secara kebetulan dibuka penerimaan murid baru di Darul Falah, Makkah dan ia pun mendaftarkan diri. Baginya, tes masuk ke sekolah tersebut tidaklah terlalu sulit. Kecerdasan dan penguasaan pada ilmu-iltnu yang diperolehnya selama belajar di Indonesia membawanya menduduki rangking ke-2 untuk masuk sekolah Darul Falah, satu peringkat di bawah Syaikh Muhammad Syalthout (mantan Grand Syaikh Al-Azhar). Selama satu tahun lebih ia belajar di Makkah sampai memperoleh gelar di bidang Muqaramah (Perbandingan) Mazhab. Orientasi keilmuan ke perbandingan mazhab semakin mengerucut setelah pulang dari belajar di Darul falah, Makkah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila di perpustakaannya lebih banyak buku tentang perbandingan mazhab (hukum).
Sekembali dari Kota Makkah, Anregurutta kemudian belajar secara informal kepada seorang ulama tasawuf yang bernama Syaikh Ahmad Jamaluddin yang lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Jamal Padaelo. Menurut keterangan dari beberapa sumber, jika Syaikh Jamal Padaelo melakukan perjalanan di waktu hujan, atas pertolongan dari Allah SWT, ia sering tidak terkena air hujan (tidak basah). Tampaknya, ilmu ini diwarisi oleh Anregurutta sehingga dalam beberapa kesempatan ketika ia diundang menghadiri suatu acara oleh masyarakat pada musim hujan saat ia belum mempunyai mobil, Anregurutta biasa mengalami hal serupa. Dari sinilah Anregurutta semakan mendalami ilmu ma'rifah lewat bimbingan Syaikh Jamal Padaelo. Ia kemudian yang kelak digantikannya menjadi Kadhi di wilayah Sidenreng Rappang.
2. Masa Perkawinan dan Keluarga
Dalam menjalani kehidupannya, Anregurutta Muin Yusuf menikah sebanyak 3 kali. Pada pernikahannya yang pertama, Anregurutta mempersunting anak gurunya yakni Hj. Baderiah binti Syaikh Ahmad Jamaluddin (puteri Syaikh Jamal Padaelo), Kadhi under afdeling Sidenreng Rappang 1925-1942. Dari pernikahan ini ia dikaruniai 6 orang anak yakni; I Nurung (lebih dahulu menghadap panggilan Allah SWT), Hj. Fauziyah Muin, H. Farid Muin, Alm. Hj. Mardawiyah Muin, Hj. Kaltsum Muin dan H. Surkad Muin.
Setelah lama menjabat Kadhi di wilayah Rappang dan Sidenreng, Anregurutta Muin Yusuf menikah untuk yang kedua kalinya dengan mempersunting A. Oja, puteri seorang pejuang kemerdekaan yang bernama A. Takko. A. Takko adalah seorang pejuang yang sangat berpengaruh di daerah Tanru Tedong Kab. Sidrap, dan meninggal dunia akibat penembakan tentara NICA yang dipimpin oleh Westerling di Tanru Tedong pada akhir bulan Pebruari 1947. Di Sulawesi Selatan, serentetan peristiwa ini dikenal dengan sebutan korban 40.000 jiwa.
Sebelum menikah dengan Anregurutta, A. Oja telah menikah dengan seorang ulama yang juga merupakan kadhi di Pamboang Majene. Dari pernikahan ini, A. Oja melahirkan seorang puteri yang bernama A. Banna. Tidak begitu lama setelah A. Banna dilahirkan, suami A. Oja meninggal dunia dan menjadilah ia seorang janda.
Meskipun A. Oja sebelum menikah dengan Anregurutta berstatus janda yang memiliki anak satu, tetapi Anregurutta memperlakukan A. Banna kecil seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan setelah A. Oja melahirkan anak pun, kasih sayangnya tidak berbeda dengan kasih sayang yang dicurahkan kepada anaknya sendiri. Hal itu dapat dilihat dari sikap Anregurutta yang memperlakukan Hj. A. Banna sama dengan 3 orang anaknya yang dilahirkan dari rahim A. Oja yakni Hj. A. Subaedah, A. Nasir (Almarhum) dengan Hj. A. Sulaikha. Sebaliknya, Hj. A. Banna sering merasa jengkel jika ada yang menganggapnya bukan puteri dari Anregurutta. Tentu saja hal ini bukan didasari oleh ketokohan dan kebesaran nama Anregurutta, tetapi semata-mata karena kasih sayang yang diberikan Anregurutta kepada Hj. A. Banna sejak kecil hingga dewasa seperti halnya dengan anak kandung sendiri.
Ketika Anregurutta melakukan perjuangan gerilya bersama gerakan DI/TII di bawah pimpinan Abdul Kahar Muzakar, ia menikah untuk yang ketiga kalinya dengan mempersunting perempuan asal Palopo yang bernama A. Norma (Opu Cinnong) yang masih kerabat dekat dengan Kahar Muzakar. Isteri Kahar yang bernama A. Haliyah merupakan sepupu satu kali dengan A. Norma.
Peristiwa ini berawal ketika Anregurutta sering melihat A. Norma memberikan ceramah di dalam hutan. Ia kemudian menyampaikan kepada Kahar Muzakar bahwa dirinya ingin menjalin hubungan yang lebih dekat dengan keluarga A. Haliyah. Kahar Muzakar kemudian mengatakan bahwa dirinya masih memiliki seorang ipar, ia sepupu isterinya. Kemudian Anregurutta mengatakan bahwa yang penting masih kerabat dekat dengan Kahar Muzakar. Setelah itu, Anregurutta mendatangi orang tua A. Norma untuk melamar, dan resmilah Anregurutta mempersunting A. Norma. Agak lama setelah Anregurutta menikahi A. Norma mereka baru dikaruniai seorang seorang puteri yang kemudian oleh Anregurtta diberi nama A. Nahidah.
A. Norma adalah seorang isteri yang sangat setia kepada Anregurutta. Kesetiaannya dibuktikan ketika ia ditinggal oleh Anregurutta yang keluar dari hutan. Sebenarnya, Anregurutta meninggalkan pasukan Kahar dari hutan bukan berangkat dari sesuatu yang direncanakan. Pada awalnya, ia diutus untuk membujuk Bahar Mataliu yang membangkang dari DI/TII dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik-Indonesia Sulawesi Selatan (PRRI) yang dipimpin oleh Saleh Haddade, di samping juga memang memiliki hubungan kerja sama dengan pasukan TNI. Pada saat itu, satu-satunya orang yang dianggap bisa membujuknya adalah Anregurutta. Hal ini disebabkan karena antara ia dengan Bahar Mataliu memiliki ikatan sejarah yang cukup kental. Dikatakan cukup kental karena ia bersahabat sejak usia remaja sewaktu sama-sama masih bersekolah di Normal Islam Majene.
Ketika Anregurutta melakukan pertemuan dengan Bahar Mataliu, pasukan Kahar diserang dan dikepung oleh pasukan Pemerintah Republik Indonesia dari semua penjuru. Situasi seperti ini membuat Anregurutta terjepit. Keinginannya untuk kembali ke hutan terganjal karena jalan untuk masuk sangat sudah karena pasukan Kahar sudah terkepung. Melihat kenyataan ini, Anregurutta memutuskan untuk masuk ke dalam kota dan meninggalkan isterinya beserta Nahidah kecil yang berusia sekitar 1 tahun.
Sepeninggal Anregurutta keluar dari hutan, semua isteri mantan anggota DI/TII yang masih berada di dalam hutan tidak ada yang dibiarkan menjanda. Semua perempuan yang ditinggal suami diperintahkan untuk dinikahi oleh anggota DI/TII yang lain. Akan tetapi, A. Norma bersikeras tidak ingin dinikahi oleh siapa pun, termasuk oleh Kahar Muzakar sendiri. Kahar Muzakar pernah berkeinginan menikahi A. Norma karena mengira A. Norma tidak ingin dinikahi oleh orang yang lebih rendah jabatannya daripada suaminya. Ternyata, Kahar Muzakar salah kaprah. A. Norma justru menolak dengan tegas keinginan Kahar Muzakar tersebut dan mengatakan kepadanya bahwa "jika organisasi memerintahkan saya untuk mencari suami saya, maka kemana pun suami saya berada saya akan mencari dan memanggilnya". Anregurutta baru bertemu kembali dengan isterinya setelah Nahidah berumur sekitar 15 tahun yang saat itu sudah menginjakkan kaki di Kelas III Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Palopo.
Kehidupan keluarga Anregurutta dengan 3 orang isteri dan dikaruniai 9 putera-puteri berjalan dengan harmonis. Ketiga Isteri Anregurutta diperlakukannya secara setara dan sesuai tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Hal itu terbukti dengan tidak ada satu pun di antara ketiga isterinya yang pernah meminta cerai.
Kesembilan putera-puteri Anregurutta pun hidup dengan rukun dan harmonis. Semuanya diperlakukan secara setara dengan penuh rasa tanggung jawab. Keharmonisan dan kerukunan putera-puteri Anregurutta terlihat ketika ia menderita sakit yang sangat parah dan dirawat selama kurang lebih satu bulan di Rumah Sakit Islam Faisal Makasar. Putera-putri Anregurutta dengan sabar melayaninya secara bergantian di tengah sakit yang dideritanya. Hal ini sempat penulis saksikan ketika turut serta menjaga Anregurutta yang terbaring sakit, saat itu tepatnya pada bulan Ramadhan tahun 2002 M/ 1423 H.
Dua isteri Anregurutta (H. Baderiyah dan A. Oja) meninggal dunia mendahulinya. Hingga kini (tahun 2008), isteri Anregurutta yang ketiga H). A. Norma masih hidup, dan diperkirakan sudah memasuki usia sekitar 85 tahun. Ia tinggal bersama dengan puterinya, Hj. A. Nahidah Muin di Jl. A. Bintang No. 34 Latuppa Kota Palopo.
3. Menjadi Kadhi (Kali Sidenreng)
Dalam usia yang masih muda (22 tahun), tepatnya pada tahun 1942, Abdul Muin Yusuf diangkat menjadi kadhi (dalam bahasa Bugis; Kali) sebagai partner addatuang Sidenreng dalam bidang agama. Ketika itu, orangtuanya (H. Muh. Yusuf) sangat khawatir dengan tugas yang diberikan kepada Anregurutta sebagai kadhi usianya yang masih sangat muda. Orangtuanya kemudian menghadap ke Addatuang sebanyak tiga kali agar anaknya tidak diangkat menjadi kadhi karena maih muda. Akan tetapi, Addatuang menolak permintaan tersebut dan menjawab bahwa tidak ada orang yang lebih pantas dan layak selain dirinya.
Sejak dulu, di Rappang antara Akkarungengnge (kerajaan) dengan kadhi/ulama tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, antara kadhi dengan penguasa (arung) bagaikan saudara sekandung, yang membedakannya hanyalah peran dan fungsi. Untuk urusan duniawi dan kemasyarakatan dipegang oleh Arungnge, sedangkan urusan keagamaan dipegang oleh kadhi/ulama. Kenyataan ini sudah dijumpai sejak zaman kerajaan Arung Rappang pertama, Puang Laiccu yang kemudian digantikan oleh La Tenrilawa. Komposisi kadhi sudah tercantum dalam Akkarungnge Laparenrengi bin Latenrilawa dengan komposisi sebagai berikut: Laparenrengi kawin dengan Puang Massossorang dan mempunyai keturunan 5 orang:
1. Puang Sakati kawin dengan La Sadapotto sebagai Addatuang Sidenreng.
2. Puang Lampe sebagai panglima perang.
3. Puang Mangorang sebagai Pabbicara.
4. Puang Laullu sebagai Sulle watang.
5. Puang Battoa sebagai kadhi untuk wilayah kerajaan Arung Rappang.
Oleh karena itu, sudah menjadi tradisi di kerajaan Rappang bahwa seorang kadhi mestilah keturunan raja.
Perkawinan Abdul Muin Yusuf dengan Baderiah binti Syaikh Jamal (puteri Syaikh Jamal Padaelo), mantu dari Syaikh Husein Padaelo, mantan kadhi under-afdeling Sidenreng Rappang 1925-1942 juga menjadi faktor penentu sehingga ia diangkat menjadi kadhi, selain karena faktor penguasaannya terhadap ilmu agama tentunya. Ia menjabat kadhi dari tahun 1942 sampai 1949. Setelah Anregurutta melepaskan Jabatan kadhi dan masuk ke hutan bergabung dengan DI/TII, jabatan kadhi untuk selanjutnya dipegang oleh Anregurutta H. Muh. Abduh Pabbaja.