NOVEL
Judul: Negeri Lima Menara
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: - 2009
PESAN DARI MASA SILAM
Washington DC, Desember 2003, jam 16.00
ISENG saja, aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaannya dengan ujung telunjuk kananku. Hawa dingin segera menjalari wajah dan lengan kananku. Dari balik kerai tipis di lantai empat ini, salju tampak turun menggumpal-gumpal seperti kapas yang dituang dari langit. Ketukan-ketukan halus tordengar setiap gumpal salju menyentuh kaca di depanku. Malahari sore menggantung condong ke barat berbentuk piring putih susu.
Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yang anggun putih gading, bergaya klasik dengan tonggak-tonggak besar. Kubah raksasanya yang berundak-undak semakin memutih ditaburi salju, bagai mengenakan kopiah haji. Di depan gedung ini, hamparan pohon american elm yang biasanya rimbun kini tinggal dahan-dahan tanpa daun yang dibalut serbuk es. Sudah 3 jam salju turun. Tanah bagai dilingkupi permadani putih. Jalan raga yang lebar-lebar mulai dipadati mobil karyawan yang beringsut-ingsut pulang. Berbaris seperti semut. Lampu rem yang hidup-mati-hidup-mati memantul merah di salju. Sirine polisi—atau ambulans—sekali-sekali menggertak diselingi bunyi klakson.
Udara hangat yang berbau agak hangus dan kering menderu-deru keluar dari alas pemanas di ujung ruangan. Mesin ini menggeram-geram karena bekerja maksimal. Walau begitu, badan setelan melayuku tetap menggigil melawan suhu yang anjlok sejak beberapa jam lalu. Televisi di ujung ruang kantor menayangkan Weather Channel yang mencatat suhu di luar minus 2 derajat celcius. Lebih dingin dari secawan es tebak di Pasar Ateh, Bukittinggi.
Aku suka dan benci dengan musim dingin. Benci karena harus membe-bat diri dengan baju tebal yang berat. Yang lebih menyebalkan, kulit tropisku berubah kering dan gatal di sana-sini. Tapi aku selalu terpesona melihat bangunan, pohon, taman dan kota diselimuti salju putih berkilat-kilat. Rasa-nya tenteram, ajaib dan aneh. Mungkin karena sangat berbeda dengan alam kampungku di Donau Maninjau yang serba biru dan hijau. Setelah dipikir-pikir, aku siap gatal daripada melewatkan pesona winter time seperti hari ini.
Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh dengan pejalan kaki dan lalu lintas mobil. Diapit dua tempat tujuan wisata terkenal di ibukota Amerika Serikat, The Capitol and The Mall, tempat berpusatnya aneka museum Smithsonian yang tidak bakal habis dijalani sebulan. Posisi kantorku hanya sepelemparan batu dari di The Capitol, beberapa belas menit naik mobil ke kantor George Bush di Gedung Putih, kantor Colin Powell di Department of State, markas FBI, dan Pentagon. Lokasi impian banyak wartawan.
Walau dingin mencucuk tulang, hari ini aku lebih bersemangat dari biasa. Ini hari terakhirku masuk kantor sebelum terbang ke Eropa, untuk tugas dan sekaligus urusan pribadi. Tugas liputan ke London untuk wawancara dengan Tony Blair, perdana menteri Inggris, dan misi pribadiku menghadiri undangan The World Inter-Faith Forum. Bukan sebagai peliput, tapi sebagai salah satu panelis. Sebagai wartawan asal Indonesia yang berkantor di AS, kenyang meliput isu muslim Amerika, termasuk serangan 11 September 2001.
Kamera, digital recorder, dan tiket aku benamkan ke ransel National Geographic hijau pupus. Semua lengkap. Aku jangkau gantungan baju di dinding cubicle-ku. Jaket hitam selutut aku kenakan dan syal cashmer cokelat tua, aku bebatkan di leher. Oke, semua beres. Tanganku segera bergerak melipat layar Apple PowerBook-ku yang berwarna perak.
Ping... bunyi halus dari messenger menghentikan tanganku. Layar berbahan titanium kembali aku kuakkan. Sebuah pesan pendek muncul berkedip-kedip di ujung kanan monitor. Dari seorang bernama "Batutah". Tapi aku tidak kenal seorang "Batutah" pun.
"maaf, ini alif dari pm?"
Jariku cepat menekan tuts.
"betul, ini siapa, ya?"
Diam sejenak. Sebuah pesan baru muncul lagi.
"alif anggota pasukan Sahibul Menara?"
Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Jariku menari ligat di keyboard.
"benar. ini siapa sih?!" balasku mulai tidak sabar.
"menara keempat, ingat gak?"
Sekali lagi aku eja lambat-lambat... me-na-ra ke-em-pat.... Tidak salah baca. Jantungku seperti ditabuh cepat. Perutku terasa dingin. Sudah lama sekali.
Aku bergegas menghentak-hentakkan jari:
"masya Allah, ini ente, atang bandung? sutradara Batutah?"
"alhamdulillah, akhirnya ketemu juga saudara seperjuanganku...."
"atang, di mana ente sekarang?"
"kairo."
Belum sempat aku mengetik lagi, bunyi ping terdengar berkali-kali. Pesan demi pesan masuk bertubi-tubi.
"ana lihat nama ente jadi panelis di london minggu depan."
"ana juga datang mewakili al azhar untuk ngomongin peran muslim melayu di negara arab."
"kita bisa reuni euy. raja kan juga di london."
"kita suruh dia jadi guide ke trafalgar square seperti yang ada di buku reading di kelas tiga dulu."
Aku tersenyum. Pikiranku langsung terbang jauh ke masa lalu. Masa yang sangat kuat terpatri dalam hatiku.
Judul: Negeri Lima Menara
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: - 2009
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
jika di dalam hutan.
Imam Syafii'
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
jika di dalam hutan.
Imam Syafii'
PESAN DARI MASA SILAM
Washington DC, Desember 2003, jam 16.00
ISENG saja, aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaannya dengan ujung telunjuk kananku. Hawa dingin segera menjalari wajah dan lengan kananku. Dari balik kerai tipis di lantai empat ini, salju tampak turun menggumpal-gumpal seperti kapas yang dituang dari langit. Ketukan-ketukan halus tordengar setiap gumpal salju menyentuh kaca di depanku. Malahari sore menggantung condong ke barat berbentuk piring putih susu.
Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yang anggun putih gading, bergaya klasik dengan tonggak-tonggak besar. Kubah raksasanya yang berundak-undak semakin memutih ditaburi salju, bagai mengenakan kopiah haji. Di depan gedung ini, hamparan pohon american elm yang biasanya rimbun kini tinggal dahan-dahan tanpa daun yang dibalut serbuk es. Sudah 3 jam salju turun. Tanah bagai dilingkupi permadani putih. Jalan raga yang lebar-lebar mulai dipadati mobil karyawan yang beringsut-ingsut pulang. Berbaris seperti semut. Lampu rem yang hidup-mati-hidup-mati memantul merah di salju. Sirine polisi—atau ambulans—sekali-sekali menggertak diselingi bunyi klakson.
Udara hangat yang berbau agak hangus dan kering menderu-deru keluar dari alas pemanas di ujung ruangan. Mesin ini menggeram-geram karena bekerja maksimal. Walau begitu, badan setelan melayuku tetap menggigil melawan suhu yang anjlok sejak beberapa jam lalu. Televisi di ujung ruang kantor menayangkan Weather Channel yang mencatat suhu di luar minus 2 derajat celcius. Lebih dingin dari secawan es tebak di Pasar Ateh, Bukittinggi.
Aku suka dan benci dengan musim dingin. Benci karena harus membe-bat diri dengan baju tebal yang berat. Yang lebih menyebalkan, kulit tropisku berubah kering dan gatal di sana-sini. Tapi aku selalu terpesona melihat bangunan, pohon, taman dan kota diselimuti salju putih berkilat-kilat. Rasa-nya tenteram, ajaib dan aneh. Mungkin karena sangat berbeda dengan alam kampungku di Donau Maninjau yang serba biru dan hijau. Setelah dipikir-pikir, aku siap gatal daripada melewatkan pesona winter time seperti hari ini.
Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh dengan pejalan kaki dan lalu lintas mobil. Diapit dua tempat tujuan wisata terkenal di ibukota Amerika Serikat, The Capitol and The Mall, tempat berpusatnya aneka museum Smithsonian yang tidak bakal habis dijalani sebulan. Posisi kantorku hanya sepelemparan batu dari di The Capitol, beberapa belas menit naik mobil ke kantor George Bush di Gedung Putih, kantor Colin Powell di Department of State, markas FBI, dan Pentagon. Lokasi impian banyak wartawan.
Walau dingin mencucuk tulang, hari ini aku lebih bersemangat dari biasa. Ini hari terakhirku masuk kantor sebelum terbang ke Eropa, untuk tugas dan sekaligus urusan pribadi. Tugas liputan ke London untuk wawancara dengan Tony Blair, perdana menteri Inggris, dan misi pribadiku menghadiri undangan The World Inter-Faith Forum. Bukan sebagai peliput, tapi sebagai salah satu panelis. Sebagai wartawan asal Indonesia yang berkantor di AS, kenyang meliput isu muslim Amerika, termasuk serangan 11 September 2001.
Kamera, digital recorder, dan tiket aku benamkan ke ransel National Geographic hijau pupus. Semua lengkap. Aku jangkau gantungan baju di dinding cubicle-ku. Jaket hitam selutut aku kenakan dan syal cashmer cokelat tua, aku bebatkan di leher. Oke, semua beres. Tanganku segera bergerak melipat layar Apple PowerBook-ku yang berwarna perak.
Ping... bunyi halus dari messenger menghentikan tanganku. Layar berbahan titanium kembali aku kuakkan. Sebuah pesan pendek muncul berkedip-kedip di ujung kanan monitor. Dari seorang bernama "Batutah". Tapi aku tidak kenal seorang "Batutah" pun.
"maaf, ini alif dari pm?"
Jariku cepat menekan tuts.
"betul, ini siapa, ya?"
Diam sejenak. Sebuah pesan baru muncul lagi.
"alif anggota pasukan Sahibul Menara?"
Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Jariku menari ligat di keyboard.
"benar. ini siapa sih?!" balasku mulai tidak sabar.
"menara keempat, ingat gak?"
Sekali lagi aku eja lambat-lambat... me-na-ra ke-em-pat.... Tidak salah baca. Jantungku seperti ditabuh cepat. Perutku terasa dingin. Sudah lama sekali.
Aku bergegas menghentak-hentakkan jari:
"masya Allah, ini ente, atang bandung? sutradara Batutah?"
"alhamdulillah, akhirnya ketemu juga saudara seperjuanganku...."
"atang, di mana ente sekarang?"
"kairo."
Belum sempat aku mengetik lagi, bunyi ping terdengar berkali-kali. Pesan demi pesan masuk bertubi-tubi.
"ana lihat nama ente jadi panelis di london minggu depan."
"ana juga datang mewakili al azhar untuk ngomongin peran muslim melayu di negara arab."
"kita bisa reuni euy. raja kan juga di london."
"kita suruh dia jadi guide ke trafalgar square seperti yang ada di buku reading di kelas tiga dulu."
Aku tersenyum. Pikiranku langsung terbang jauh ke masa lalu. Masa yang sangat kuat terpatri dalam hatiku.